Rektor Universitas YARSI, Prof. dr. Fasli Jalal, SpGK, Ph.D dipercaya oleh Indonesia Healthcare Forum (INDOHCF) bekerja sama dengan Ikatan Konsultan Kesehatan Indonesia (IKKESINDO), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia(IAKMI) dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) menjadi moderator dalam acara Temu Pakar/Diskusi Panel dengan topik: “Strategi Penurunan Stunting dari Hulu-Hilir Secara Komprehensif” (Rabu, 4 Maret 2020) bertempat di Raffles Hotel Jakarta.
Ketua Umum – Indonesia Healthcare Forum, DR. dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS dalam sambutannya mengatakan INDOHCF meyelenggarakan acara ini dalam rangka mencari solusi penanggulangan dan penanganan stunting di Indonesia, karena prevalensinya memang masih tergolong tinggi. Meskipun menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) kata dr. Supri prevalensi stunting Indonesia mengalami kecenderungan penurunan, di tahun 2007 sebesar 36.6 %; 2013 sebesar 37.2 %, dan 2018 sebesar 30.8 %.
“Memang terdapat mulai ada penurunan sebesar 6.4 % selama 5 tahun (2013-2018), atau sekitar 1.28 % per tahun. Namun demikian, jika terus seperti itu dipastikan Indonesia tidak bisa mencapai sasaran target penurunan stunting baik jangka menengah (2025) maupun jangka panjang (2030),” kata dr. Supri prihatin.
Perlu diketahui, masalah stunting telah menjadi perhatian dunia, karena berbagai dampak negatif yang ditimbulkan terhadap kualitas dan kapasitas sumberdaya manusia. Stunting tidak saja dipandang sebagai masalah kesehatan, tetapi sudah dipakai sebagai indikator kapasitas SDM (human capacity index). Indonesia berada di peringkat ke-87 dari 157 negara.
Hal ini, menurut dr. Supri sejalan dengan visi dan misi Bapak Presiden dan Wakil Presiden RI yang tertuang dalam Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024, yaitu upaya percepatan perbaikan gizi masyarakat yang difokuskan pada penurunan prevalensi stunting.
“Pemerintah Indonesia telah sangat berkomitmen untuk memerangi masalah stunting dan secara ambisius telah memetakan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah,” tutur dr. Supri.
Lebih lanjut dr. Supri menjelaskan, sekurangnya ada dua kesepakatan global tentang penurunan stunting. Resolusi WHA 65.6 2012, telah menyepakati 6 (enam) indikator perbaikan gizi yang harus dicapai pada tahun 2025. Salah satu diantaranya adalah mengurangai 40 jumlah anak stunting dari data dasar tahun 2012. Sedangkan sasaran Pembagungan Berkelanjutan (SDGs 2030) lebih tegas lagi yaitu ingin menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi.
“Pada tahun 2030 semua negara diharapkan dapat menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi, yang indikator utamanya adalah prevalensi stunting suatu negara dianggap rendah apabila dibawah 20%,” jelas dr. Supri.
Acara yang bertujuan untuk memberikan gambaran permasalahan stunting, evaluasi pelaksanaan dan alternatif strategi penanggulangan stunting di Indonesia ini dibuka oleh Dr. Kirana Pritasari, MQIH. – Direktur Jendral Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, namun diwakilkan kepada dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS. (Staf Ahli Menteri Kemenkes RI bidang Desesntralisasi Kesehatan).
Sebagai Keynote Speech adalah Dr. Ir. Subandi, MSc – Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan, Kementerian Bappenas membahas “Kebijakan Pemerintah dalam Upaya Penanggulangan Stunting”. Karena tidak bisa hadir, diwakili oleh Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, Ph.D.
Sebelum memandu Sesi Dikusi Panel, Prof. Fasli Jalal mengatakan merasa bersyukur walau di tengah kecemasan epidemi coranavirus, semua pakar yang hadir masih memikirkan masalah stunting. Sungguh ironi memang, kata mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional di tahun 2010 ini, meskipun dalam berbagai indikator bangsa Indonesia berada di kelas atas, seperti masuk dalam negara-negara G-20, pertumbuhan ekonomi sudah luar biasa, tingkat pengangguran dan kemiskinan menurun, tapi untuk stunting masuk kelas bawah.
“Kita masuk dalam link-nya Afrika seperti Somali dan Etiophia yang menurut kita hal itu sangat susah dipercaya,” kata Prof. Fasli Jalal.
Prof. Fasli Jalal juga mengemukan bahwa dirinya dan salah satu pakar yang hadir di acara itu pernah diundang oleh sebuah lembaga internasional, dimana mereka mempertanyakan Indonesia masuk dalam salah satu dari dua negara yang disebut counter factual dan satunya lagi adalah Pakistan.
“Maksudnya, pada saat pertumbuhan suatu negara yang cenderung linier, seperti sumber daya manusianya makin tangguh, jumlah dokternya banyak, kondisi ekonomi membaik, dan stuntingnya juga menurun seperti yang dialami oleh 5 (lima) dari 7 (tujuh) negara di dunia,” ucap Prof. Fasli Jalal.
“Akan tetapi hal itu tidak terjadi di 2 (dua) negara, yakni Indonesia dan Pakistan karena stunting-nya meningkat,” jelas Prof. Fasli Jalal.
Walapun demikian, menurut Prof. Fasli Jalal Indonesia masih punya harapan yang cukup besar. Karena semua ingredien yang diminta dan dibuktikan untuk dunia kalau masalah stunting di Indonesia ingin berhasil.
“Semuanya kita punya sekarang, seperti Komitmen Presiden, Wakil Presiden, semua Menko (Menteri Koordinator), 22 lembaga kementerian, para gubernur sudah ‘demam’ stunting, para bupati pun demam stunting, dan bahkan semua komponen yang ada di Indonesia juga demam stunting,” urai Prof. Fasli Jalal bersemangat.
Demikian pula halnya dengan masalah anggaran, Prof. Fasli Jalal menirukan seperti yang pernah dikatakan oleh Menteri Keuangan RI – Sri Mulyani, “tidak boleh ada alasan kekurangan dana untuk stunting dan selalu ada dana oleh apa saja program yang dilakukan untuk penurunan stunting akan disediakan oleh negara”.
“Jadi, komitmen politik, kelembagaan, dan anggaran sudah tersedia,” tegas Prof. Fasli Jalal.
Namun, Prof. Fasli jalal mengukapkan sebuah kekhawatiran yang menurut istilahnya ‘The devil is in the detail’ bagaimana upaya-upaya yang dilakukan agar semua program tentang penurunan stunting itu ‘lended’ di keluarga-keluarga ‘1000 Hari Pertama Kehidupan’ (HPK). Sehingga ibu hamil tidak lagi melahirkan anak stunting, mengawal anak-anak baru lahir sampai usia 2 (dua) tahun yang apabila mengalami stunting segera dikembalikan ke jalur normal.
“Saya berkeyakinan, dengan demikian akan kita capai penurunan angka stunting baru, bagi yang sudah stunting agar dinaikan hingga kembali normal. Kalaupun ada anak yang terlambat di usia lebih dari dua tahun dan fisiknya agak terganggu, tapi stimulasi, kecukupan gizi, dan pendidikan yang memadai akan kita berikan,” urai Prof. Fasli Jalal panjang lebar.
“Sehingga, meskipun secara fisik dia agak terganggu (bertubuh lebih pendek), namun potensi sumber daya manusianya akan tetap berjalan dengan baik,” pungkas Prof. Fasli Jalal.
Pada sesi diskusi panel menghadirkan 5 (lima) orang pakar yaitu Bambang Widianto – Sekretaris Eksekutif (Ad Interim) Tim Nasional Percepatan Penanggulanga Kemiskinan (TNP2K) – Sekretariat Wakil presiden RI, memaparkan “Konvergensi dalam upaya penangulangan stunting”. Dr. Siswanto, MHP, DTM – Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI dengan materi “Pemetaan Masalah Stunting dan Determinannya” diwakili oleh Dodi. Kemudian Prof. Dr. Ascobat Gani MPH, Dr.PH menyampaikan tentang “Penguatan Kapasitas sektor kesehatan di tingkat pusat dan daerah (kebijakan dan regulasi)”. Prof. dr. Endang L. Achadi, PhD. – FKM UI dengan “Kajian Intervensi Percepatan Penurunan Stunting”, dan salah seorang dari Fakultas Kedokteran-Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM – Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA membahas suatu “Kajian spesifik terhadap program suplementasi tablet tambah darah (TTD), PMT dan tata laksana gizi buruk”. (ART)
“Universitas YARSI, Islami dan Berkualitas”