Pada April 2025, kebijakan tarif impor tinggi yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia dengan tarif 32%, telah menimbulkan gelombang kekhawatiran di kalangan negara berkembang. Tarif ini, yang merupakan bagian dari pendekatan proteksionisme Presiden Donald Trump, bertujuan mengatasi defisit perdagangan besar dan menekan negara-negara yang dianggap menerapkan hambatan non-tarif, seperti persyaratan konten lokal dan sistem lisensi impor yang kompleks. Indonesia, misalnya, menghadapi tarif tinggi akibat surplus perdagangan dengan AS sebesar $16,84 miliar pada 2024, yang meningkat menjadi $3,14 miliar pada dua bulan pertama 2025 dibandingkan $2,65 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya (Jakarta Globe, 2025).
Dalam kondisi ini, muncul pertanyaan strategis: apakah pembentukan koalisi global seperti “Non US Country Alliance Against Trump New Policy,” penguatan kerja sama regional melalui ASEAN, atau negosiasi bilateral langsung dengan AS merupakan pendekatan terbaik untuk Indonesia dan negara-negara terdampak lainnya? Artikel ini akan menganalisis ketiga opsi tersebut, dengan mempertimbangkan kelebihan, tantangan, dan konteks spesifik Indonesia.
Latar Belakang Tarif AS dan Dampaknya
Pada 2 April 2025, Trump mengumumkan tarif minimum 10% untuk semua mitra dagang, dengan tambahan hingga 32% untuk Indonesia, 46% untuk Vietnam, dan 34% untuk China, sebagai bagian dari kebijakan “reciprocal tariffs” (New York Times, 2025). Kebijakan ini didorong oleh argumen bahwa negara-negara seperti Indonesia menerapkan regulasi yang tidak seimbang, seperti tarif 30% pada etanol dibandingkan 2,5% oleh AS, serta aturan pemulangan pendapatan eksportir sumber daya alam untuk transaksi di atas $250.000 (White House, 2025). Dampaknya signifikan: ekspor Indonesia ke AS, yang mencakup komoditas seperti sepatu dan pakaian, terancam menurun tajam, sementara rantai pasok global, khususnya di Asia, menghadapi gangguan (The Guardian, 2025).
Berikut adalah ringkasan tarif AS terhadap beberapa negara berdasarkan data terkini:
Negara |
Tarif AS (%) |
Surplus Perdagangan dengan AS 2024 (Miliar USD) |
Catatan Tambahan |
Indonesia | 32 | 16,84 | Hambatan non-tarif |
Vietnam | 46 | – | Ekspor tinggi ke AS |
China | 34 | – | Tarif tambahan dari sebelumnya |
Thailand | 36 | – | Rantai pasok semikonduktor |
Strategi Global: Koalisi Baru “Non US Country Alliance Against Trump New Policy”
Salah satu pendekatan yang diusulkan adalah pembentukan koalisi global baru, misalnya “Non US Country Alliance Against Trump New Policy,” yang menggabungkan negara-negara terdampak untuk melawan tarif AS secara kolektif. Strategi ini memiliki beberapa keunggulan:
Daya Tawar Lebih Kuat: Aliansi global dapat meningkatkan pengaruh negosiasi dibandingkan aksi individu, memungkinkan tekanan diplomatik yang lebih besar terhadap AS.
Koordinasi Respons: Berbagi sumber daya dan strategi untuk menghadapi kebijakan AS secara terpadu, seperti yang dilakukan China dengan tarif balasan 34% pada impor AS (Time, 2025).
Solidaritas Ekonomi: Membuka peluang untuk diversifikasi pasar ekspor bersama, misalnya ke UE atau Asia Pasifik.
Namun, tantangannya signifikan:
Kepentingan Beragam: Negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, dan China memiliki profil ekonomi yang berbeda, sehingga sulit mencapai konsensus. Vietnam, misalnya, fokus pada manufaktur, sementara Indonesia lebih bergantung pada sumber daya alam.
Risiko Eskalasi: Koalisi yang terlihat konfrontatif dapat memicu respons lebih keras dari AS, seperti tarif tambahan atau sanksi ekonomi, sebagaimana diwaspadai dalam analisis CNBC (2025).
Kompleksitas Organisasi: Membentuk aliansi baru membutuhkan waktu dan sumber daya, yang mungkin tidak seefisien memanfaatkan forum seperti WTO atau G20 yang sudah ada.
Secara keseluruhan, meskipun koalisi global menawarkan kekuatan kolektif, kelemahannya dalam hal koordinasi dan risiko eskalasi membuatnya kurang praktis dibandingkan opsi lain.
Strategi Regional: Penguatan ASEAN
Opsi kedua adalah memperkuat kerja sama regional melalui ASEAN, yang sudah menunjukkan langkah awal. Indonesia dan Malaysia, misalnya, telah berkoordinasi untuk merespons tarif AS, menekankan pentingnya persatuan ASEAN (The Star, 2025). Keunggulan pendekatan ini meliputi:
Struktur yang Ada: ASEAN memiliki mekanisme kerja sama ekonomi yang mapan, seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), yang dapat diperluas untuk menghadapi tantangan eksternal.
Kepentingan Serupa: Negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand memiliki ketergantungan ekspor yang mirip ke AS, memudahkan koordinasi.
Efisiensi: Menggunakan platform yang sudah ada lebih cepat dan hemat biaya dibandingkan membentuk aliansi baru.
Tantangannya termasuk:
Kapasitas Terbatas: ASEAN historically lebih fokus pada kerja sama internal daripada menghadapi kekuatan global seperti AS, sehingga memerlukan penyesuaian strategis.
Ketergantungan pada Konsensus: Keputusan ASEAN sering lambat karena membutuhkan persetujuan semua anggota, yang bisa menghambat respons cepat.
Meski begitu, bukti menunjukkan bahwa ASEAN dapat menjadi platform efektif untuk Indonesia, terutama karena kerja sama yang sudah dimulai dengan Malaysia menawarkan fondasi kuat untuk respons regional.
Strategi Bilateral: Negosiasi Indonesia-AS
Pendekatan ketiga adalah negosiasi bilateral langsung antara Indonesia dan AS, yang telah diindikasikan oleh pemerintah Indonesia melalui proposal kerja sama untuk mengurangi tarif (Business Indonesia, 2025).
Keunggulan strategi ini adalah:
Fokus Spesifik: Indonesia dapat menangani isu langsung seperti persyaratan konten lokal dan lisensi impor yang menjadi pemicu tarif, seperti yang disoroti Airlangga Hartarto, Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian.
Fleksibilitas: Perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan AS dapat dirancang untuk menguntungkan kedua belah pihak, mengurangi tarif pada komoditas seperti sepatu dan pakaian yang saat ini terdampak.
Kecepatan: Negosiasi bilateral bisa lebih cepat dibandingkan koordinasi multilateral atau regional, terutama jika ada kemauan politik dari kedua pihak.
Namun, ada kelemahan:
Ketergantungan pada AS: Indonesia berisiko membuat konsesi besar untuk mendapatkan keringanan tarif, seperti membuka pasar domestik lebih luas.
Kekuatan Negosiasi Terbatas: Sebagai negara individu, Indonesia memiliki daya tawar lebih kecil dibandingkan koalisi global atau regional.
Bukti menunjukkan bahwa negosiasi bilateral dapat efektif jika dikombinasikan dengan strategi lain, seperti yang berhasil dilakukan Indonesia pada 2019 untuk menghapus tarif pada lima produk (Reuters, 2019).
Mana yang Lebih Baik?
Mempertimbangkan ketiga opsi, pilihan terbaik untuk Indonesia tampaknya adalah kombinasi strategis, dengan prioritas berbeda berdasarkan konteks:
Jangka Pendek: Negosiasi Bilateral. Negosiasi langsung dengan AS menawarkan solusi cepat untuk mengurangi dampak tarif pada ekspor utama Indonesia. Dengan surplus perdagangan yang signifikan, AS memiliki insentif untuk mencapai kesepakatan, terutama jika Indonesia bersedia menyesuaikan hambatan non-tarif.
Jangka Menengah: Penguatan ASEAN. Kerja sama regional melalui ASEAN lebih realistis dan efisien dibandingkan koalisi global baru. Koordinasi dengan Malaysia dan negara ASEAN lainnya dapat memperkuat posisi Indonesia, sekaligus membuka peluang diversifikasi pasar di kawasan Asia Pasifik.
Jangka Panjang: Koalisi Global sebagai Cadangan. Pembentukan aliansi seperti “Non US Country Alliance” bisa dipertimbangkan jika tarif AS meningkat atau negosiasi bilateral dan regional gagal. Namun, ini sebaiknya dilakukan melalui WTO untuk legitimasi dan efisiensi, daripada membentuk entitas baru yang berisiko memakan waktu dan sumber daya.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa diversifikasi ekonomi dan pengembangan industri dalam negeri harus menjadi pendamping semua strategi ini. Investasi dalam manufaktur dan inovasi, sejalan dengan target energi terbarukan 44% pada 2030 (US Department of State, 2024), akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada ekspor ke AS dalam jangka panjang.
Kesimpulan
Menghadapi tarif impor tinggi AS membutuhkan pendekatan yang seimbang. Negosiasi bilateral menawarkan solusi cepat dan spesifik untuk Indonesia, sementara penguatan ASEAN memberikan kekuatan regional yang realistis. Koalisi global baru, meskipun menarik secara teori, memiliki risiko tinggi dan kurang efisien dibandingkan memanfaatkan mekanisme yang sudah ada seperti WTO atau ASEAN. Dengan menggabungkan ketiganya—memulai dengan negosiasi bilateral, memperkuat ASEAN, dan menjadikan koalisi global sebagai cadangan—Indonesia dapat mengurangi dampak tarif sambil membangun ketahanan ekonomi jangka panjang.
Muhammad Akhyar Adnan
Dosen Prodi Akuntansi FEB Universitas Yarsi