Di kantor WHO Jenewa saya bertemu teman lama yang dulu sama-sama di WHO Regional Asia Tenggara. Teman saya ini, Dr Kim Sungchol, kini menjabat sebagai pimpinan “WHO Traditional, Complementary and Integrative Medicine (TCIM) Unit” di kantor pusat WHO Jenewa. Dia adalah warga negara Korea Utara tetapi punya latar belakang pendidikan kedokteran tradisional China (“Traditional Chinese Medicine”). Di kantor WHO Jenewa ini memang ada patung perunggu besar setinggi orang dengan 666 titik-titik akupunktur, 214 diantaranya ada nama berpasangan dengan nama yang sama, jadi total ada 559 nama titik akupuntur. Patung di kantor WHO ini sedikit banyak memberi gambaran tentang peran kedokteran tradisional China dalam area kedokteran tradisional dunia dan juga di WHO.
Selain Tiongkok, maka juga sudah dikenal luas kedokteran tradisional India, bahkan mereka punya Kementerian AYUSH (Ayurveda, Yoga and Naturopathy, Unani, Siddha, and Homoeopathy) sejak tahun 2014. Kementerian ini memiliki 12 insitut nasional dan lima organisasi riset, dua komisi regulasi dll. Kegiatannya mencakup enam hal, yaitu kesehatan, tanaman kesehatan, standar dan kualitas, pendidkan, penelitian dan pengembangan serta kolaborasi dan kerjasama. India memiliki “Ayush Systems of Medicine” yang cukup komprehensif dan lengkap. Kita ketahui juga bahwa pertemuan besar WHO berlangsung di India tahun lalu, yaitu “WHO Traditional Medicine Global Summit” pada 17 dan 18 Agustus 2023 di Gandhinagar, Gujarat, India.
Dalam ruang lingkup WHO maka bidang ini terdiri dari tiga area. Pertama adalah kedokteran tradisional (“Traditional medicine”) yang memang sudah dikenal luas sejak ratusan tahun yang lalu. Pendekatannya merupakan gabungan dari pengetahuan, keterampilan dan praktek, yang berdasar pada teori, kepercayaan dan pengalaman indigenus berdasar berbagai budaya. Pendekatan ini digunakan luas di masyarakat untuk menjaga kesehatan, juga untuk pencegahan, diagnosis, pengobatan atau setidaknya perbaikan gejala penyakit fisik dan mental.
Area kedua dalam WHO adalah pengobatan koplimenter (“complementary medicine”) atau pengobatan alternatif (“alternative medicine”), yang mencakup berbagai cara pengobatan yang terjadi, yang bukan merupakan bagian dari kedokteran konvensional maupun kedokterann tradisional.
Area ke tiga adalah pengobatan herbal (“Herbal medicines”), yang pada dasarnya berasal dari tanaman, atau bagian/bahan aktif dari tanaman. Nampaknya jamu kita masuk dalam area ini.
Dalam pembicaraan dengan Dr Kim pimpinan Unit di WHO ini maka saya menyampaikan bahwa Indonesia punya Jamu dan berbagai pendekatan tradisional lainnya. Dia berjanji akan memperhatikan hal ini, dan dia juga sudah tahu tentang jamu. Akan baik kalau Kementerian Kesehatan dan penggiat kesehatan tradisional kita terus mengalakkan kesehatan tradisional kita, baik untuk kepentingan negara dan membawanya ke kancah global juga. Selain itu, akan baik juga kalau makin banyak Perguruan Tinggi yang mendidik dan meneliti tentang jamu dan pengobatan tradisional kita, sehingga dasar ilmiahnya menjadi makin kuat, dan juga akan ada lulusan sarjana, master atau doktor di bidang ini, seperti teman saya Dr Kim yang kini memimpin Unit ini di WHO. Juga, saya mengusulkan mungkin akan baik kalau di kabinet mendatang akan ada Institusi khusus dalam eselon yang cukup tinggi untuk menangani kekayaan kesehatan tradisional kita, seperti juga di negara lain dan di WHO.
Prof Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI
Delegasi Republik Indonesia (DELRI) pada pertemuan INB 9 WHO Pandemic Agreement