Penentuan awal dan akhir Ramadan di Indonesia selalu menjadi momen yang dinanti umat Islam. Selama ini, metode rukyatul hilal—pengamatan langsung terhadap bulan sabit—telah menjadi tradisi yang kuat, baik sebagai bagian dari syariat maupun warisan budaya. Namun, di tengah kemajuan teknologi dan dinamika zaman, muncul pertanyaan kritis: apakah kegiatan ini masih relevan? Ada beberapa pertimbangan yang dapat menjadi dasar untuk mengevaluasi keberlanjutan metode ini.
Pertama, metode hisab atau perhitungan astronomis telah terbukti memiliki tingkat akurasi yang tidak kalah dibandingkan rukyat. Hisab memanfaatkan data ilmiah seperti posisi matahari, bulan, dan bumi yang dapat dihitung dengan presisi tinggi, bahkan jauh sebelum hari pelaksanaan. Dalam praktiknya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama sering kali mengacu pada hasil hisab sebagai dasar keputusan, meskipun rukyat tetap dilakukan sebagai konfirmasi. Bukti ini menunjukkan bahwa hisab bukan sekadar pelengkap, melainkan metode yang andal dan konsisten. Berbeda dengan rukyat, hisab tidak tergantung pada faktor eksternal seperti cuaca buruk, polusi udara, atau keterbatasan alat pengamatan yang sering kali menghambat visibilitas hilal. Jika hisab sudah mampu memberikan kepastian, mengapa kita masih bergantung pada metode yang rentan terhadap kendala tersebut?
Kedua, pengalaman awal Ramadan 1446 menjadi bukti menarik bahwa Indonesia memiliki keberanian untuk mengambil langkah independen. Pada tahun tersebut, Indonesia menetapkan awal Ramadan yang berbeda dengan mayoritas negara anggota MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Keputusan ini menunjukkan bahwa Indonesia mampu mempertimbangkan kondisi lokal—baik dari sisi astronomis maupun sosial—tanpa harus terikat pada keseragaman regional atau metode tradisional semata. Langkah ini mencerminkan fleksibilitas dalam menafsirkan penentuan waktu ibadah, yang sebenarnya telah lama menjadi diskursus di kalangan ulama. Jika Indonesia sudah mampu melangkah sendiri dengan dasar yang kuat, apakah kita masih perlu mempertahankan rukyatul hilal sebagai keharusan, ataukah ini saatnya beralih ke pendekatan yang lebih praktis dan mandiri?
Ketiga, aspek biaya menjadi pertimbangan krusial yang tidak bisa diabaikan. Pelaksanaan rukyatul hilal di berbagai titik di Indonesia membutuhkan anggaran yang signifikan (*). Untuk memberikan gambaran, mari kita analisis perkiraan biaya yang timbul dalam satu kegiatan rukyat secara nasional. Berdasarkan praktik yang ada, Kementerian Agama biasanya melibatkan ratusan titik pengamatan, dengan masing-masing titik membutuhkan petugas, peralatan, dan logistik. Misalnya, jika satu titik pengamatan melibatkan lima petugas dengan biaya transportasi dan akomodasi rata-rata Rp500.000 per orang, serta penggunaan teleskop atau alat optik senilai Rp1.000.000 (amortisasi per penggunaan), maka biaya per titik bisa mencapai Rp3.500.000. Dengan asumsi ada 100 titik pengamatan nasional, total biaya mencapai Rp350.000.000 untuk satu kali kegiatan. Angka ini belum termasuk biaya koordinasi, sidang isbat, dan operasional kantor yang bisa mencapai ratusan juta rupiah lagi. Jadi, secara kasar, satu kali pelaksanaan rukyatul hilal bisa menelan biaya hingga Rp500.000.000 atau lebih. Sebaliknya, metode hisab hanya membutuhkan tenaga ahli terbatas—misalnya, beberapa astronom dan falakiyah—serta perangkat lunak yang biayanya jauh lebih rendah, mungkin hanya Rp50.000.000 hingga Rp100.000.000 per penentuan. Jika rukyatul hilal digantikan sepenuhnya dengan hisab, potensi penghematan bisa mencapai Rp400.000.000 hingga Rp450.000.000 per kegiatan, atau Rp800.000.000 hingga Rp900.000.000 dalam setahun untuk dua kali penentuan (awal dan akhir Ramadan). Dana ini bisa dialihkan untuk kebutuhan mendesak seperti bantuan sosial atau pendidikan agama.
Keempat, pendekatan hisab menawarkan manfaat tambahan yang sangat signifikan: memudahkan berbagai perencanaan, baik di tingkat pribadi, keluarga, instansi, maupun negara. Karena hisab memungkinkan prediksi yang akurat jauh hari sebelumnya—bahkan hingga bertahun-tahun ke depan—masyarakat dapat merencanakan kegiatan dengan lebih baik. Individu dan keluarga bisa mengatur jadwal libur, perjalanan mudik, atau persiapan ibadah tanpa ketidakpastian yang sering muncul akibat menunggu hasil rukyat. Instansi swasta dan pemerintah dapat menyusun kalender kerja, cuti bersama, atau program sosial dengan lebih efisien, menghindari penyesuaian mendadak yang kerap merepotkan. Di tingkat negara, kepastian ini memudahkan koordinasi kebijakan, seperti pengaturan transportasi umum, distribusi logistik Ramadan, hingga kampanye keagamaan. Rukyat, yang hasilnya baru diketahui pada hari H atau H-1, sering kali menyisakan ketidakpastian yang mengganggu perencanaan. Dengan hisab, semua pihak memiliki waktu lebih panjang untuk mempersiapkan diri, sehingga Ramadan dapat disambut dengan lebih tenang dan terorganisasi.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa rukyatul hilal memiliki nilai historis dan simbolis yang kuat. Pengamatan hilal melibatkan partisipasi masyarakat luas dan menjadi ritual kolektif yang mempererat kebersamaan umat. Bagi sebagian kalangan, metode ini juga dipandang sebagai bentuk ketaatan pada sunnah Rasulullah SAW yang mengamati hilal secara langsung. Akan tetapi, nilai-nilai tersebut tidak harus hilang sepenuhnya. Rukyat bisa tetap dijaga sebagai tradisi budaya atau kegiatan sukarela masyarakat, sementara hisab diangkat sebagai acuan utama untuk kepastian hukum dan praktik ibadah. Harmonisasi antara keduanya bisa menjadi jalan tengah, dengan catatan bahwa prioritas diberikan pada akurasi, efisiensi, dan relevansi dengan kebutuhan masa kini.
Pada akhirnya, evaluasi terhadap kebutuhan rukyatul hilal bukanlah penolakan terhadap tradisi, melainkan upaya untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Ketepatan hisab, keberanian mengambil keputusan mandiri, efisiensi biaya dengan potensi penghematan ratusan juta rupiah, serta kemudahan perencanaan adalah alasan kuat untuk mempertimbangkan perubahan. Tradisi yang baik adalah yang mampu beradaptasi, bukan yang kaku menghadapi realitas baru. Mungkin, sudah saatnya Indonesia melangkah lebih jauh menuju pendekatan yang lebih modern, hemat, dan efektif dalam menyambut bulan suci Ramadan dan Idul Fithri.
(*) Catatan: Perkiraan biaya tetap bersifat hipotetis berdasarkan asumsi umum, karena data resmi spesifik tidak tersedia secara publik.
Muhammad Akhyar Adnan
Dosen Prodi Akuntansi FEB Universitas Yarsi