Pemberian Beasiswa Tanpa Keluar Dana

Tidak dapat disangkal, bahwa PTS di Indonesia akhir-akhir ini mengeluhkan secara serius turunnya animo dan jumlah mahasiswa yang mendaftar dari tahun ke tahun. Umumnya ada sekitar 3 hal yang dituding sebagai penyebab, yakni: (a) dampak Covid19; (b) PTN yang semakin ‘rakus’ dalam menjaring calon mahasiswa dengan berbagai metode penerimaan mahsiswa baru, dan (c) semakin gelapnya ekonomi Indonesia yang membuat daya beli masyarakat makin buruk sehingga berat bagi sebagian besar masyarakat untuk melajutkan studi ke jenjang S1.

Menarik juga mencatat bahwa hal ini juga menjadi perhatian Tim Panel  FIBAA yang saat ini sedang mengevaluasi proses akreditasi beberapa Program Studi dalam lingkungan Universitas Yarsi. Secara formal, UY sudah memberikan respon yang bijak. Namun, di luar semua itu, apakah masih adakah acara lain yang dapat dipertimbangkan? Tentu ada. Apa itu?

Dalam konteks mengelola usaha yang berkaitan dengan Revenue (Penerimaan) dan Cost / Expenses (Biaya / Beban), mereka yang berlatar belakang akuntansi, keuangan dana atau ekonomi, biasanya juga memperhatikan dan memanfaatkan perilaku cost / expense.

Secara garis besar, perilaku cost / expense dapat dipilah menjadi 2, yakni: (1) fixed cost dan (2) variable cost. Fixed cost difahami sebagai biaya yang jumlahnya tetap (tidak bertambah) walau ada perubahan kegiatan atau output. Sebaliknya, variable cost adalah cost yang jumlahnya berubah-ubah tergantung kepada aktifitas atau output. Sehingga makin banyak kegiatan / makin besar output, maka makin besar cost tersebut. Dalam hal ini, mungkin banyak yang kurang aware bahwa Fixed cost secara total tetap, tetapi per unit akan makin mengecil dalam range tertentu.

Lalu apa kaitan dengan issue yang diangkat di mula dan judul di atas?

Mari kita kenali dulu apa contoh fixed cost dalam konteks Universitas Yarsi (UY). Sesungguhya sangat banyak cost dalam kategori fixed. Artinya, walau kegiatan dan output bertambah, maka total fixed cost tidak beruah. Ini meliputi biaya gaji (dosen & tendik dan staf lainnya), depresiasi (gedung, peralatan, dst), sebagian besar biaya listrik. Sayangnya saya tidak punya data keuangan riel. Namun dalam bayangan saya fixed cost ini bisa meliputi sekitar atau lebih dari 85% dati total cost. Artinya yang variable hanya sekitar 10 % – 15%.

Dalam hal ini, apakah jumlah mahasiswa kita 10, 100, 1000, 5000 atau 10 000 orang, maka jumlah total fixed cost  akan tetap seperti itu.

Mari kita lihat dalam skala yang lebih kecil. Misalkan dalam sebuah klas, terdapat 50 kursi utk mahasiswa. Maka kalau kelas ini diisi oleh oleh 1, 10, 20 atau 50 mahasiswa, fixed cost sama. Ini misalnya meliputi: gaji dosen, depresiasi gedung, ruangan, fasilitas, listrik dst.

Dari pengalaman saya bergabung dengan UY sejak 2023 awal, saya melihat fakta bahwa tidak ada klas yang terisi penuh. Klas terbesar rasanya hanya sekitar 30an mahasiswa. Artinya terdapat 20 kursi kosong. Kalau kita jumlahkan secara agregat, bayangkan betapa banyak kursi yang kosong.

Berdasarkan hal ini, mengapa kita tidak coba mengisi kursi kosong tadi dengan mahasiswa dalam bentuk [memberikan] bea siswa. Artinya, kita terima mahasiswa tambahan, misalkan 50% dari kursi kosong dengan status beasiswa, atau bebas SPP. Lalu apa dampaknya?

Ada sejumlah dampak yang dapat diidentifikasi, misalnya:

  1. Tidak ada tambahan biaya tetap, seperti dijelaskan di atas.
  2. Jumlah mahasiswa per kelas maupun secara agregat atau total (per prodi, per fakultas atau per universitas) akan bertambah secara signifikan. Dampak lanjutannya adalah suasana kampus akan lebih ramai.
  3. Ketika tambahan ini diiklankan secara besar2an, bahwa UY menyediakan misalkan 100 beasiswa, atau dalam rupiah senilai 100 mahasiswa x 12jt akan berjumlah Rp1,2 Milyar, maka dampaknya akan dahsyat untuk orang datang berbondong-bondong mendaftar. Padahal, dalam hal ini, UY tidak perlu mengeluarkan biaya apapun. Dampak branding dan marketing dari kebijakan ini akan sangat luar biasa.
  4. Beasiswa adalah bantuan sosial yang tentunya akan berujung pada barokah (keberkahan), karena bantuan senilai Rp1,2M tentu akan muncul berbagai barokah yang tak terduga. Apalagi – misalnya – bila beasiswa ini diprioritaskan kepada kaum Dhuafa.
  5. Tidak ada tambahan revenue bagi UY, karena mereka adalah penerima beasiswa dalam bentuk pembebasan SPP.

Dari 5 dampak di atas, dapat dikatakan bahwa 4 bersifat positif (butir 1 – 4), dan hanya butir 5 yang bersifat “negative”. Namun, tidak mustahil, untuk jangka panjang, 4 butir dampak ini akan sangat mungkin menutupi 1 dampak yang ‘sementara’ terkesan nagatif.

Overall, ini juga merupakan cara untuk bersaing PTN dan PTS lain, dan sekaligus menjawab pertanyaan FIBAA. Insya Allah.