Kegiatan produksi, penjualan, dan penggunaan mercon, petasan, serta kembang api telah menjadi tradisi yang melekat di masyarakat, terutama saat perayaan seperti Ramadan, Idulfitri, atau Tahun Baru. Namun, di balik kemeriahan sesaat yang ditawarkan, terdapat ancaman serius yang tidak bisa diabaikan lagi. Sudah saatnya kita membuka mata dan mengambil sikap tegas untuk menghentikan praktik ini demi kebaikan bersama. Berikut adalah alasan mendesak mengapa kegiatan ini harus segera dihentikan.
- Tidak Ada Dasar Hukum, Sebaliknya: Melanggar HukumSecara agama Islam, tidak ada ayat Al-Qur’an atau hadis yang mendukung penggunaan petasan atau kembang api sebagai bagian dari ibadah atau perayaan. Sebaliknya, MUI DKI Jakarta melalui Fatwa pada 13 Ramadhan 1431 H (23 Agustus 2010) menyatakan bahwa membakar petasan dan kembang api adalah haram karena merupakan pemborosan (tabzir), tidak memiliki manfaat syar’i, dan membahayakan jiwa—sesuai larangan dalam Surah Al-Isra ayat 26-27: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” Muhammadiyah, melalui pendekatan Majelis Tarjihnya, juga menekankan prinsip syariat yang melarang segala bentuk pemborosan dan bahaya, meskipun belum ada fatwa nasional spesifik, sikap ini sejalan dengan pandangan bahwa kegiatan ini tidak memiliki landasan agama.Dari sisi hukum negara, Indonesia telah mengatur larangan ini. Pasal 1 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 melarang kepemilikan bahan peledak, termasuk bahan petasan, tanpa izin resmi. Peraturan Kapolri Nomor 17 Tahun 2017 juga membatasi penggunaan kembang api dan petasan, dengan sanksi pidana bagi pelaku yang melanggar. Pelanggaran ini bahkan dapat dijerat dengan Pasal 187 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kebakaran atau kematian, dengan ancaman hukuman penjara hingga 12 tahun jika mengakibatkan korban jiwa. Jadi, kegiatan ini bukan hanya tanpa dasar hukum, tetapi juga melawan hukum yang berlaku.
- Mudharat Besar, Manfaat NihilBahaya dari mercon, petasan, dan kembang api bukan isapan jempol. Setiap tahun, korban berjatuhan, baik dari sisi produksi maupun penggunaan. Pada Maret 2023, ledakan petasan di Kaliangkrik, Magelang, menewaskan seorang pengrajin, melukai tiga orang tetangga, dan merusak belasan rumah. Kejadian serupa terjadi di Banyuwangi pada 2017, ketika sebuah rumah produksi petasan meledak, menewaskan dua orang dan menghancurkan bangunan sekitar. Anak-anak dan remaja, yang sering menjadi pengguna utama, juga rentan menjadi korban. Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mencatat bahwa selama periode Lebaran 2019, puluhan pasien, mayoritas anak-anak, dirawat akibat luka bakar dan amputasi jari karena petasan.Secara statistik, meskipun data tahunan nasional belum terdokumentasi secara lengkap, laporan kepolisian dan media menunjukkan tren kerugian yang konsisten. Pada Ramadan 2022, razia polisi di berbagai daerah menyita ribuan petasan ilegal, namun kecelakaan tetap terjadi, termasuk kebakaran rumah di Jakarta akibat percikan petasan. MUI menegaskan dalam fatwanya bahwa mudharat kegiatan ini jauh lebih besar daripada manfaatnya—bahkan manfaatnya nyaris nihil. Pandangan serupa diamini oleh Muhammadiyah yang selalu mengedepankan prinsip kemaslahatan dan penghindaran bahaya dalam setiap aktivitas.
- Pemborosan yang Menyerupai Perbuatan SetanMembakar mercon dan kembang api adalah bentuk pemborosan luar biasa. Jutaan rupiah dihamburkan untuk sesuatu yang hanya berlangsung beberapa detik, tanpa meninggalkan jejak manfaat. Dalam Islam, perbuatan ini disebut tabzir, yang secara eksplisit dikutuk dalam Al-Qur’an, Surah Al-Isra ayat 27. MUI dalam fatwanya menegaskan bahwa pemborosan ini menyerupai perbuatan setan, musuh utama umat manusia. Muhammadiyah juga kerap mengingatkan umat untuk mengalihkan harta ke hal-hal yang lebih produktif dan bermanfaat, seperti sedekah atau pendidikan, ketimbang menghabiskannya untuk hal sia-sia. Di tengah kemiskinan yang masih melanda sebagian masyarakat, tradisi ini menjadi ironi yang menyakitkan.
Seruan Mendesak untuk Bertindak
Dengan fakta-fakta di atas, kita tidak bisa lagi menunda tindakan. Pertama, sangat mendesak bagi para ulama, termasuk dari MUI dan Muhammadiyah, untuk memperkuat fatwa nasional yang tegas menyatakan bahwa produksi, penjualan, dan penggunaan mercon, petasan, dan kembang api adalah haram. Fatwa MUI DKI Jakarta pada 2010 dan pandangan Muhammadiyah tentang kemaslahatan perlu diseragamkan dan diperluas agar memiliki daya ikat yang lebih kuat di seluruh Indonesia.
Kedua, penegak hukum harus bertindak tegas. Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan perlu menindak tanpa pandang bulu siapa saja yang terlibat, mulai dari produsen, pedagang, hingga pengguna yang melanggar aturan. Sanksi pidana harus ditegakkan sebagai efek jera, sebagaimana diamanatkan dalam UU Darurat 12/1951 dan KUHP. Tidak boleh ada toleransi lagi terhadap praktik yang jelas-jelas membahayakan masyarakat.
Kesimpulan
Produksi, penjualan, dan penggunaan mercon, petasan, dan kembang api adalah musibah yang terselubung dalam kemeriahan palsu. Tanpa dasar hukum agama maupun negara, penuh mudharat tanpa manfaat, serta merupakan pemborosan yang dilarang keras oleh Al-Qur’an, MUI, dan prinsip Muhammadiyah, kegiatan ini harus segera dihentikan. Nyawa, harta, dan ketertiban masyarakat terlalu berharga untuk dikorbankan demi tradisi yang tidak bermakna. Mari kita berani mengambil langkah tegas sekarang—sebelum korban berikutnya berjatuhan.
Muhammad Akhyar Adnan
Dosen Prodi Akuntansi FEB Universitas Yarsi