Puasa telah ditunaikan sebulan Ramadhan. Semua berharap ujungnya menjadikan kita bertakwa. Proses menjadi orang bertakwa harus dilakukan terus menerus. Artinya, bertakwa tidak sekali jadi.
Takwa itu pada dasarnya merujuk pada sebuah sikap takut, waspada seksama sehingga senantiasa menjalankan perintah Allah SWT dan meninggalkan larangan-Nya.
Berapa jauh intensitas agar proses bertaqwa itu terus mengkristal dan mengaktualisasi dalam diri kita ? “ Jawaban dari pertanyaan inilah membedakan, satu dengan orang lainnya dalam hal ketaqwaan,” ujar Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. K.H. Haedar Nashir, M.Si, kala memberikan materi Kajian Islam Tematik Universitas Yarsi, kemarin pagi .
Lebih lanjut, dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menerangkan, setelah Ramadhan dan mulai bulan Syawal, kita selalu ingin menjadi orang bertakwa, Alquran dan Hadist telah memberikan ragam penjelasan dan petunjuk.
Nafkahkanlah hartamu dalam kondisi lapang dan sempit. “Ini petunjuk insan bertakwa ,” tegasnya.
Menurut Alumnus Master Sosiologi Universitas Gadjah Mada predikat Cumlaude, berinfaq tidak mudah. Disaat orang memiliki harta berlebih ,selamanya terus ingin berlebih dan tidak ingin kekurangan,
Penyakit berinfaq itu ada yaitu jika punya uang nilai besar dan kecil, umumnya nilai terkecil dikeluarkan dan ingin selalu berlebih. Perlu disadari, siapapun berinfaq ada identik unsur pemaksaan diri.
“Infaq seseorang bernilai tinggi jika ditunaikannya terus menerus, termasuk suasana sulit dan kekurangan “tutur Alumnus Doktor Sosiologi Universitas Gadjah Mada predikat Cumlaude,
Petunjuk selanjutnya, insan bertakwa itu tidak akan korupsi,meski banyak kesempatan. Jiwa korupsi umumnya bukan karena kekurangan atau kelaparan , bahkan seseorang sudah berlebih harta.
Implementasi insan bertaqwa mencari harta halalan thayyiban (halal dan baik) sesudah itu berinfaq sesuai kemampuan. “ Jangan infaq dari harta korupsi,” ingat Prof Haedar.
Petunjuk lain individu bertaqwa, jangan pamer dan bangga memiliki sikap pemarah. Mulailah harus bisa menahan marah. Artinya bisa menahan hawa nafsu dalam berbagai kondisi. Bukan saja saat normal seperti waktu puasa, umrah haji, dimesjid. Tetapi saat ingin marah kita bisa menahan marah.tanpa melihatkan kemarahan.
Kemarahan orang beragama harus beda dengan orang lain.”Pribadi umat bertakwa itu suka pemberi maaf dan memaafkan ,” ucap Kiai kelahiran Bandung
Selanjutnya, manusia mendirikan sholat, memberikan zakat sesuai nisab, memenuhi janji yang dijanjikan dan jadi orang sabar saat lapar ,menderita dan saat kesulitan.”semua ini ciri sosok masyarakat bertakwa,” cakap Alumnus Pesantren Cintawana Tasikmalaya
Takwa itu pribadi tertinggi, dimana kualitas hablum minallah dan hablum minannas-nya sama baiknya.
Dalam Dialog virtual Universitas Yarsi ini dihadiri Ketua Yayasan Universitas Yarsi, Prof. dr. Jurnalis Uddin, Rektor Universitas Yarsi, Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menyatakan, bagi keluarga besar Universitas Yarsi, meski berbeda tugas dan program studinya,semua harus berusaha tampil menjadi insan bertakwa,meningkatkan kualitas ketakwaan.
Lalu takwa itu diaktualisasikan dalam ketaatan beribadah, Takwa juga diaplikasikan dalam akhlak mulia, jangan hanya di hati saja dan merasa paling bertakwa
Orang berilmu dan bertakwa tampil bukan hanya untuk dirinya,tapi bermanfaat bagi orang lain. Jangan gunakan ilmu untuk memusnahkan orang.
Mahasiswa Yarsi sebagai calon pemimpin harus jadi pemimpin lebih baik. “Caranya bertakwa, kuasai ilmu pengetahuan dan teknologi(Iptek) serta kehadirannya bermanfaat bagi masyarakat ,” tutup Prof. Haedar.