Larangan Hoarding / Ihtikar: Perspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Islam

Memasuki Ramadhan, seolah-olah menjadi tradisi di negeri ini, bahwa harga komoditas kebutuhan pokok merangkak naik. Masyarakat dan Pemerintah sayangnya sering menganggap hal ini sebagai sesuatu yang biasa dan wajar saja. Padahal, kalau mau sedikit kritis, mestinya tidak demikian adanya. [Lihat misalnya https://www.kompasiana.com/muhammadakhyaradnan4100/67bed3c4c925c4322e6fc272/kenaikan-harga-menjelang-selama-ramadhan-wajarkah].

Rujukan ini mengindikasikan secara meyakinkan bahwa sesungguhnya kenaikan harga tersebut lebih bersifat ilusif, psikologis dan [bahkan] manipulatif. Terutama karena adanya tindakan sementara pihak yang diyakini melakukan penumpukan atau hoarding atau ihtikar.

Lalu bisakah tradisi buruk ini dihentikan? Jawabannya: sangat bisa. Tulisan ini coba menjelaskan referensi hukum dalam dua perspektif: nasional dan Islam. Keduanya ternyata saling menguatkan bahwa hoarding / ihtikar adalah perbuatan yang tidak baik dan sangat menggaggu.

Hoarding, atau dalam bahasa Arab disebut ihtikar atau iktinaz, merujuk pada praktik penimbunan barang secara berlebihan dengan tujuan memanipulasi pasar, menaikkan harga, atau menciptakan kelangkaan demi keuntungan pribadi. Praktik ini telah lama menjadi perhatian, baik dalam kerangka hukum nasional maupun hukum Islam, karena dampaknya yang merugikan masyarakat luas. Di Indonesia, sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, larangan hoarding dapat dilihat dari dua perspektif yang saling melengkapi: hukum nasional yang berbasis pada peraturan perundang-undangan dan hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, serta pendapat ulama.

Pendekatan Hukum Nasional Indonesia

Dalam sistem hukum Indonesia, larangan hoarding diatur dalam berbagai peraturan yang bertujuan melindungi kepentingan masyarakat dan menjaga stabilitas ekonomi. Salah satu landasan utama adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yang mengatur aktivitas perdagangan agar berjalan secara adil dan tidak merugikan konsumen. Pasal 24 UU ini secara eksplisit melarang pelaku usaha melakukan penimbunan barang tertentu yang dapat menyebabkan kelangkaan atau kenaikan harga yang tidak wajar. Barang yang dimaksud biasanya adalah kebutuhan pokok, seperti beras, minyak goreng, gula, dan bahan pangan lainnya, yang memiliki dampak langsung pada kehidupan masyarakat.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga menjadi payung hukum untuk mencegah hoarding. Pasal 17 UU ini melarang pelaku usaha menguasai pasokan atau produksi barang tertentu untuk mengendalikan harga pasar. Jika terbukti melakukan praktik ini, pelaku dapat dikenakan sanksi oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), termasuk denda atau bahkan pidana berdasarkan peraturan terkait.

Pemerintah Indonesia juga memiliki instrumen lain, seperti Peraturan Menteri Perdagangan yang kerap diterbitkan untuk mengatur distribusi barang kebutuhan pokok, terutama pada saat krisis seperti pandemi atau bencana alam. Contohnya, pada masa pandemi COVID-19, penimbunan masker dan obat-obatan menjadi isu serius, sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan khusus untuk mencegah dan menindak pelaku hoarding.

Sanksi bagi pelaku hoarding dalam hukum nasional cukup tegas. Berdasarkan UU Perdagangan, pelaku dapat dipidana dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun atau denda hingga Rp50 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa negara menganggap hoarding sebagai tindakan yang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam stabilitas sosial dan ekonomi.
Pendekatan Hukum Islam

Dalam hukum Islam, larangan hoarding atau ihtikar memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an, Hadis, dan ijma’ ulama. Secara normatif, Islam memandang hoarding sebagai perbuatan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (‘adl), keseimbangan (mizan), dan kesejahteraan bersama (maslahah). Al-Qur’an secara tegas mencela perilaku menimbun harta secara berlebihan tanpa memanfaatkannya untuk kebaikan. Dalam Surah At-Taubah (9:34-35), Allah SWT mengingatkan:

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak membelanjakannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka dengan siksa yang pedih.”

Meskipun ayat ini lebih luas konteksnya, para ulama menafsirkan bahwa penimbunan harta, termasuk barang kebutuhan pokok, yang merugikan masyarakat adalah bentuk pelanggaran terhadap ajaran Islam.

Hadis Nabi Muhammad SAW juga secara spesifik melarang ihtikar. Dalam sebuah riwayat dari Sunan Ibn Majah, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang melakukan ihtikar terhadap makanan kaum Muslimin, maka Allah akan menimpakan penyakit kusta dan kebangkrutan kepadanya.” Hadis ini menegaskan bahwa hoarding bukan hanya dosa sosial, tetapi juga mengundang murka Allah. Dalam riwayat lain, Rasulullah menyebut pelaku ihtikar sebagai khatta’ (pendosa), yang menunjukkan betapa seriusnya larangan ini dalam Islam.

Ulama fikih, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanafi, sepakat bahwa ihtikar haram jika dilakukan dengan niat memanipulasi harga atau menyengsarakan masyarakat. Namun, mereka juga memberikan pengecualian: jika penimbunan dilakukan untuk kebutuhan pribadi atau keluarga dalam jumlah wajar dan tidak merugikan orang lain, maka hal itu tidak dilarang. Batasan “wajar” ini biasanya diukur berdasarkan kebutuhan selama 40 hari, sesuai dengan praktik Rasulullah dalam menyimpan stok makanan.

Sanksi dalam hukum Islam terhadap pelaku ihtikar bersifat fleksibel dan tergantung pada kebijakan penguasa (ulil amri). Dalam sistem pemerintahan Islam klasik, khalifah seperti Umar bin Khattab pernah menetapkan hukuman berupa penyitaan barang yang ditimbun dan distribusinya kepada masyarakat yang membutuhkan. Selain itu, pelaku juga bisa dikenakan ta’zir, yaitu hukuman yang ditentukan oleh hakim berdasarkan tingkat pelanggaran dan dampaknya.

Sinkronisasi Hukum Nasional dan Hukum Islam

Di Indonesia, meskipun sistem hukumnya sekuler, nilai-nilai Islam sering kali menjadi inspirasi dalam pembentukan peraturan. Larangan hoarding adalah contoh nyata bagaimana hukum nasional dan hukum Islam dapat berjalan seiring. Keduanya memiliki tujuan yang sama: melindungi masyarakat dari eksploitasi ekonomi dan menjamin ketersediaan barang kebutuhan pokok.

Dari segi substansi, hukum nasional Indonesia dan hukum Islam sama-sama menekankan pentingnya keadilan dalam perdagangan. Bedanya, hukum nasional lebih fokus pada aspek regulasi dan sanksi administratif/pidana, sementara hukum Islam menambahkan dimensi moral dan spiritual, seperti ancaman dosa dan siksa akhirat.

Dalam praktiknya, pemerintah Indonesia juga sering menggandeng tokoh agama untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya hoarding, terutama pada bulan Ramadan atau saat harga pangan melonjak.

Namun, ada tantangan dalam implementasi. Hukum nasional sering kali terhambat oleh lemahnya penegakan hukum dan minimnya pengawasan terhadap pelaku usaha besar. Di sisi lain, hukum Islam bergantung pada kesadaran individu dan otoritas keagamaan, yang tidak selalu memiliki kekuatan eksekutorial dalam sistem hukum modern. Oleh karena itu, sinkronisasi yang lebih baik antara kedua sistem ini—misalnya melalui penguatan regulasi berbasis nilai syariah—bisa menjadi solusi efektif.

Kesimpulan

Larangan hoarding dalam hukum nasional Indonesia dan hukum Islam mencerminkan komitmen untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Hukum nasional mengaturnya melalui UU Perdagangan dan UU Antimonopoli dengan sanksi yang tegas, sementara hukum Islam melandaskannya pada Al-Qur’an dan Hadis dengan penekanan pada moralitas dan kesejahteraan umat. Keduanya saling melengkapi: hukum nasional memberikan kerangka formal, sedangkan hukum Islam menawarkan landasan etis.

Di tengah dinamika ekonomi modern, penegakan larangan hoarding tetap relevan untuk mencegah kesenjangan sosial dan menjaga stabilitas. Indonesia, dengan kekayaan budaya dan agamanya, memiliki peluang untuk mengintegrasikan kedua pendekatan ini demi keadilan yang lebih holistik. Kesadaran masyarakat, penegakan hukum yang konsisten, dan edukasi berbasis nilai agama dapat menjadi kunci untuk meminimalkan praktik hoarding di Indonesia, insya Allah.