KOMPAS.com – Konsep keterbukaan dan transparansi mengemuka dalam bidang perpustakaan dan ilmu pengetahuan, mulai dari open access, open repository dan open science.
Tiga subtema ini ditampilkan dalam kuliah umum dan visiting lecture 2021 yang mengangkat tema “Opennes in Library and Information Science” yang digelar prodi Perpustakaan dan Sains Informasi Yarsi (Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia) pada 18 Desember 2021
Kuliah umum menghadirkan tiga pembicara utama, yakni; Putu Laxman Pendit (School of Business Information Technology RMT University Melbourne Australia), Prof. Sulistyo Basuki (Dosen Luar Biasa UIN Syarif Hidayatullah) dan Heriyanto (Dosen Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro).
Dalam pemaparan pertama, Putu Laxman mengangkat tajuk “Open Access: Pengetahuan Bersama dan Tradisi Pustaka”.
Ia menjelaskan, open access (OA) merupakan gerakan, fenomena, maupun kondisi di mana informasi ilmiah, baik dalam bentuk publikasi atau data, dapat diakses secara bebas dari hambatan finansial, teknis, maupun legal.
“Tujuannya adalah meningkatkan keterbukaan akses terhadap karya ilmiah secara online sehingga publik akademik pada khususnya dan masyarakat luas secara leluasa dapat mengakses, mengunduh dan menggandakan, memakai dan menggunakan bersama informasi ilmiah tersebut dalam batas ketentuan berlaku,” jelas Putu Laxman.
Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Daftarkan email
Lebih jauh Putu Laxman menjelaskan, dampak OA bagi pustakawan menjadi penting dan strategis sebagai penghubung/konektor berbagai pihak/agen yang bergerak dalam sebuah bidang.
“OA membuka peluang pustakawan mengambil peran. Dampaknya bukan pada teknik bekerja melainkan pada isu-isu yang berkembang,” tegas Putu Luxman.
Membawa isu kedua terkait “Open Access Repository”, Prof. Sulistyo Basuki menyampaikan, repository institusi merupakan wadah penyimpanan digital dari sebuah lembaga yang bertujuan menyimpan, mengelola dan mempublikasi serta melestarikan hasil karya intelektual lembaga tersebut untuk kepentingan akademis.
Ia menjelaskan, berdasarkan indikator QS World University Rankings, reputasi akademik, perbandingan dosen dan mahasiswa, serta sitasi rata-rata dosen memiliki bobot nilai yang cukup tinggi.
Terkait keterbukaan, berdasarkan hasil pengamatan Prof. Sulityo Basuki terhadap 10 universitas peringkat terbaik QS WUR ternyata hasilnya belum memuaskan.
“Jawaban yang diperoleh seragam, tidak ada kebijakan akses terbuka bagi repositori institusi. Dari kesepuluh universitas terbaik di Indonesia tidak satupun yang menyediakan akses terbuka. Jadi repositori mereka tidak dapat diakses dari luar, harus datang ke universitas,” ungkap Prof. Sulistyo.
Prof. Sulistyo juga menjelaskan, ada beberapa alasan perguruan tinggi tidak membuka repositori, antara lain; isu plagiarisme (penjiplakan), mencegah informasi yang berpotensi menjadi paten atau aplikasi lain, serta menjaga privasi responden serta ancaman terhadap perpustakaan.
Pembicara terakhir, Heriyanto mengangkat tema “Open Science bagi Perpustakaan Perguruan Tinggi”. Ia menyampaikan, open science merupakan revolusi ilmu pengetahuan yang ditandai dengan perubahan kegiatan penelitian dan publikasi hasil penelitian.
“Ketika bicara tentang open science berarti bukan hanya keterbukaan pada hasil publikasinya, tetapi terbuka dalam semua proses penelitian itu,” tegas Heriyanto.
Heriyanto juga menjelaskan, keterbukaan ini dapat membawa dampak proses penelitian menjadi lebih efisien, memberi alternatif dalam mengukur dampak hasil penelitian, meningkatkan kolaborasi kegiatan penelitian, serta memperluas diseminasi hasil penelitian.
“Mau tidak mau, sadar tidak sadar, gerakan sains terbuka sudah berjalan. Bagaimana perpustakaan bisa terlibat di dalamnya untuk berkontribusi dalam gerakan open science ini. Tujuannya untuk apa, ya untuk pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri,” pungkas Heriyanto.
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.