Kita tahu bahwa tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan penting negara kita, dan juga pada sebagian negara di dunia. Untuk dapat menanganinya dengan baik maka tentu pasien harus didiagnosis secara dini supaya cepat diobati dan jangan keburu menular ke orang lain disekitarnya. Tehnik diagnosis dini itu tentu hasilnya harus benar dan pasti, dan idealnya tehnik diagnosis ini harus mudah pula.
Sudah sejak lama para pakar kedokteran mencari berbagai upaya diagnosis dini tuberkulosis. Tercatat bahkan di tahun 1942 ( 82 tahun yang lalu) sudah ada tulisan ilmiah berjudul “The early diagnosis of pulmonary tuberculosis” yang dipublikasi oleh “South African Medical Journal – SAMJ” Vol. 16, No. 21 November 1942, yang antara lain membahas peran ronsen toraks dalam diagnosis TB. Waktu itu tentu kita belum merdeka, tapi memang di negara lain sudah banyak tulisan-tulisan di jurnal ilmiah kedokteran. Bahkan, penemuan basil penyebab tuberkulosis oleh Robert Koch juga sudah dipublikasi di jurnal ilmiah “Berliner Klinische Wochenschrift” pada 10 April, 1882, hampir 2 abad yang lalu.
Kembali tentang diagnosis dini tuberkulosis, maka sebulan yang lalu ada artikel ilmiah berjudul “Exploring the use of exhaled breath as a diagnostic tool for pulmonary TB” yang dipublikasi pada Jurnal ilmiah “International Journal of Tuberculosis and Lung Disease” edisi 1 Juli 2024. Sesuai judulnya maka artikel ilmiah ini memang membahas berbagai kemungkinan mendiagnosis TB dengan hembusan napas saja, tentu suatu upaya yang amat baik kalau nanti dapat digunakan luas.
Memang sejak dekade belakangan ini sudah banyak dikaji tentang potensi mendiagnosis TB dengan hembusan napas saja, sebagai alternatif dari pemeriksaan dahak dan atau foto ronsen toraks (yang belakangan ini dilakukan dengan pendekatan “artificial intelligence” pula). Walau sejauh ini penelitian-penelitian hembusan napas belum ditranslasionalkan ke praktek klinik tetapi memang sudah banyak kemajuan penelitian yang berpotensi menjanjikan, setidaknya dalam tiga aspek, yaitu diagnosis, estimasi penularan dan pemantauan respon pengobatan. Peran diagnosis melalui hembusan napas juga pernah dibahas waktu COVID-19, walau memang kemudian tidak berkembang luas.
Tulisan di “International Journal of Tuberculosis and Lung Disease” bulan Juli 2024 ini menyatakan bahwa di waktu mendatang ini cara diagnosis dengan hembusan napas akan meningkatkan pengetahuan kita tentang dua hal, penyakit infeksi paru dan saluran napas serta respon imun pasiennya (“host-immune responses”).
Semoga tuberkulosis di negara kita akan dapat ditangani dengan baik. Tentu tidak tepat kalau kita bicara tentang menyongsong Indonesia Emas tetapi sejak beberapa tahun ini negara kita adalah penyumbang kasus TB ke dua terbanyak di dunia.
Prof Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara
Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Mantan Kabalitbangkes