Kita tahu bahwa hampir semua bulan dalam 1 tahun berisi 30 atau 31 hari, kecuali bulan Februari, jadi bulan ini sesuatu yang “jarang”. Karena itulah minggu terakhir Februari diperingati sebagai “World Rare Disease Week”, dan hari terakhir Februari sebagai “World Rare Disease Day”. Tahun ini menjadi lebih “jarang” lagi karena tahun kabisat, jadi khusus untuk tahun2 kabisat maka “World Rare Disease Day” diperingati pada 29 Februari, hari ini. Beberapa contoh penyakit jarang atau penyakit langka ini adalah Sindrom Morquio, Sklerosis multipel, Penyakit Fabry, Asidosis tubulus renalis, Citrulinemia, Phenylketonuria (PKU), Osteogenesis imperfecta dll, nama-nama penyakit yang tidak banyak dikenal masyarakat.
Diperkirakan ada lebih dari 300 juta orang didunia yang terdampak “penyakit jarang/langka” atau “rare diseases” ini, pasien dan keluarga kerabatnya, dari lebih 7 miilyar penduduk dunia. Diperkirakan ada sekitar 10.000 jenis “penyakit jarang/langka” atau “rare diseases (RD)” ini yang mempunyai karakteristik sangat bervariasi pada gejala kliniknya dan diagnosis penyakit dari masing-masing penderita. Diagnosis membutuhkan waktu yang cukup lama sampai bertahun-tahun dan berganti-ganti dokter dan laboratorium.
Namun di era genomik sejak tahun 2005 dengan ditemukannya alat baru yang bisa mensekuens DNA atau gen manusia, beberapa penyakit RD (“rare diseases”) bisa terdiagnosis sehingga penanganan, bahkan pengobatan serta pola penurunan bisa diketahui. Tidak semua penyakit RD diturunkan, justru banyak dari mereka terjadi karena spontan (mutasi baru) yang masih belum bisa diketahui apa yang menjadi penyebabnya. Dengan perhatian keluarga, orang tua yang penuh kasih sayang, ihlas dan semangat ternyata anak-anak menderita RD mendapatkan kwalitas hidup yang lebih baik.
Untuk negara kita, kesadaran ibu-ibu dengan anak menderita RD untuk mendirikan komunitas RD di Indonesia untuk saling bertukar pengalaman , merasakan kebersamaan dan advokasi ke pemerintah atau badan-badan sosial lainnya merupakan suatu usaha yang perlu dibantu, dihargai terutama dari para tenaga medis dan pemerintah. Fasilitas diagnosis yang mahal dan obat-obat atau susu/ diet makanan yang harus diimport dari luar negeri semestinya diberikan kemudahan dan tidak dikenakan biaya pajak. Harapannya biaya dan fasilitas diagnosis RD akan segera dibantu pemerintah. Tidak semua penderita RD menjadi beban pemerintah, mereka juga bisa menjadi individu yang produktif dan bermanfaat bagi masyarakat.
Prof Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI