PIKIRAN RAKYAT – Ekosistem perguruan tinggi saat ini dinilai terlalu cenderung kepada persaingan mencari mahasiswa sebanyaknya. Kompetisi terjadi antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta.
Pada akhirnya, kondisi tersebut dinilai tak sehat untuk perkembangan dunia pendidikan secara umum.
Hal tersebut menjadi benang merah dalam webinar bertema ‘Seleksi Ujian Mandiri PTN. Buat Gaduh Penerimaan Baru PTS, Retorika atau Kenyataan?’, Kamis, 12 Agustus 2021.
Webinar itu diselenggarakan oleh Universitas Yarsi bersama Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (Aptisi) dan Asosiasi Penyelenggara Perguruan Tinggi (Apperti).
Diskusi itu berawal dari persoalan mekanisme seleksi penerimaan mahasiswa PTN Mandiri. Seleksi tersebut dinilai membuat PTN terlalu berorientasi mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya.
Selain PTN didorong berkompetisi dengan sesamanya, PTS juga mau tak mau ikut terbawa. Sementara tak semua PTS memiliki sumber daya memadai layaknya PTN yang turut didanai oleh negara.
Dalam diskusi, Ketua Aptisi Budi Djatmiko mengemukakan perlu pembagian kerja antara PTS dan PTN.
Menurutnya, alih-alih berorientasi mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya, PTN sebaiknya menjadi alat negara untuk menghadapi tantangan zaman, baik itu melalui pembukaan prodi langka berbiaya tinggi tetapi sangat dibutuhkan.
Budi beranggapan bila PTN sebaiknya disiapkan untuk menghadapi segala disrupsi yang kini hadir di berbagai bidang.
“Zaman berubah, semuanya berubah. Yang bisa membuka prodi-prodi (yang mengikuti zaman) adalah PTN dengan anggaran dari negara yang begitu banyaknya. Silahkan APBN diperbanyak, tapi jangan mahasiswanya,” katanya.
PTN juga dinilainya lebih baik menerima mahasiswa S1 dan D3 pilihan dengan jumlah terbatas untuk menjaga kualitas. PTN berkonsentrasi kepada program pascasarjana, terutama di prodi yang dibutuhkan di era disrupsi ini, melalui anggaran untuk penelitian-penelitian berbiaya mahal.
Dengan demikian, ia menilai, PTS bisa menampung mahasiswa S1 dan D3. Pasalnya, biaya sarana-prasarana S1 dan D3 tak terlalu mahal layaknya pascasarjana.
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menilai, relasi antar PTN berada dalam posisi yang tak sehat karena kecenderungan kompetisi mencari mahasiswa melalui mekanisme Seleksi PTN Mandiri.
Risikonya, universitas sebagai pusat keunggulan ilmu pengetahuan atau center of excellence bisa terabaikan.
“Antar kampus negeri semestinya tidak berkompetisi. Tapi semangatnya adalah terus mengembangkan dan menguatkan kampusnya sebagai sentra unggulan pada prodi tertentu dan bagaimana keunggulan itu bisa dikolaborasikan dengan kampus negeri yang lain. Jadi, semangatnya harus kolaboratif, bukan kompetitif,” katanya.
Begitu juga dalam relasi antara PTN dan PTS di tengah tuntutan kompetisi mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya itu. “Semangatnya jadi semangat mengambil ceruk,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah diharapkan bisa menciptakan sistem yang objektif antara PTN dan PTS melalui peta jalan pendidikan. Namun, hal itu sampai saat ini belum terealisasi.
Selain itu, ia mengatakan, pemerintah juga hendaknya memberikan afirmasi kebijakan yang lebih kuat kepada PTS.
“Pemerintah memberikan tidak hanya pada level kebijakan, tapi juga afirmasi akses anggaran yang lebih kepada PTS. Semangatnya adalah supaya tercipta ekosistem yang adil dalam dunia pendidikan nasional,” ujarnya.
Rektor Universitas Yarsi, Fasli Jalal, mengatakan, sebagian besar PTS tak bisa bersaing secara head to head dengan PTN. Hal itu terutama ketika sedang musim penerimaan calon mahasiswa baru. PTS mayoritasnya menunggu dulu pengumuman seleksi PTN, baru membuka pendaftaran.
“Kami di swasta memang, terus terang, menunggu dulu gerakan penerimaan mahasiswa baru di PTN. Hanya segelintir yang tidak memperdulikan (pengumuman seleksi PTN),” ujarnya.***