Awas, Bahaya Riba Dalam Penukaran Uang

Setiap menjelang Hari Raya Idulfitri atau Lebaran, tradisi berbagi kebahagiaan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Salah satu fenomena yang muncul adalah kebiasaan menukar uang baru untuk diberikan sebagai angpao kepada anak-anak, keponakan, atau sanak saudara. Uang baru dengan pecahan kecil seperti Rp5.000, Rp10.000, atau Rp20.000 menjadi incaran karena dianggap lebih menarik dan “layak” untuk diberikan. Namun, di balik semaraknya tradisi ini, ada bahaya tersembunyi yang sering kali luput dari perhatian: riba dalam praktik penukaran uang.

Angpao Bukan Budaya Islam

Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami bahwa tradisi angpao sebenarnya bukan bagian dari ajaran Islam. Angpao lebih dikenal sebagai tradisi dalam budaya Tionghoa, terutama saat perayaan Imlek, di mana amplop merah berisi uang diberikan sebagai simbol keberuntungan dan harapan baik. Dalam konteks Lebaran di Indonesia, kebiasaan ini tampaknya diadopsi dan dimodifikasi menjadi pemberian uang baru kepada anak-anak atau kerabat.

Namun, dalam Islam, memberi hadiah atau sedekah kepada sanak saudara, termasuk anak-anak dan keponakan, adalah perbuatan yang sah dan bahkan dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda, “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai” (HR. Bukhari). Pemberian ini menjadi bentuk silaturahmi dan kebaikan, terutama di momen Lebaran yang penuh berkah. Yang menjadi masalah bukan pemberiannya, melainkan cara masyarakat memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu melalui penukaran uang yang kerap kali mengandung unsur riba.

Fenomena Penukaran Uang Jelang Lebaran

Menjelang Lebaran, permintaan akan uang baru meningkat tajam. Banyak orang rela antre di bank atau mencari jasa penukaran uang di pinggir jalan demi mendapatkan pecahan baru. Namun, karena keterbatasan stok di lembaga resmi seperti Bank Indonesia atau bank mitra yang menyediakan penukaran gratis, muncullah “bisnis” penukaran uang di pasar informal. Para penyedia jasa ini biasanya mengenakan biaya tambahan atau margin yang cukup signifikan, berkisar antara 10% hingga 25% dari nilai uang yang ditukar.

Sebagai gambaran, untuk mendapatkan Rp100.000 dalam pecahan baru, seseorang harus membayar Rp110.000 hingga Rp125.000 kepada penyedia jasa. Di beberapa daerah, seperti Surabaya pada tahun 2025, laporan menyebutkan bahwa margin bisa mencapai Rp25.000 per Rp100.000, atau setara dengan 25%. Praktik ini semakin marak saat mendekati hari H karena stok uang baru semakin langka, dan permintaan melonjak. Bagi sebagian orang, biaya tambahan ini dianggap wajar demi menjaga tradisi. Namun, dari sudut pandang syariat Islam, praktik ini jelas-jelas mengandung riba yang dilarang keras.

Riba dalam Penukaran Uang: Jenis dan Hukumnya

Dalam ajaran Islam, riba adalah tambahan yang diambil tanpa ada imbalan yang sepadan dalam suatu transaksi. Al-Qur’an dengan tegas melarang riba, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 275: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Ada dua jenis riba yang dikenal dalam fikih Islam: riba nasi’ah dan riba fadhl. Praktik penukaran uang jelang Lebaran termasuk dalam kategori riba fadhl.

Riba fadhl terjadi ketika ada pertukaran barang sejenis dengan nilai yang berbeda, tanpa ada dasar syariat yang membenarkannya. Dalam kasus penukaran uang, uang kertas (misalnya Rp100.000) ditukar dengan uang kertas lain (juga Rp100.000 dalam pecahan berbeda) dengan tambahan biaya. Padahal, secara syariat, pertukaran uang sejenis harus dilakukan dengan nilai yang sama dan tanpa tambahan apa pun. Rasulullah SAW bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama dan tunai. Jika berbeda jenis, maka juallah sesuka kalian asalkan tunai” (HR. Muslim). Prinsip ini juga berlaku untuk uang kertas sebagai alat tukar modern yang setara dengan emas dan perak pada masa lalu.

Dalam praktik penukaran uang jelang Lebaran, penyedia jasa mengambil keuntungan dari transaksi yang seharusnya setara. Misalnya, Rp100.000 ditukar dengan Rp100.000 plus biaya Rp15.000. Tambahan Rp15.000 inilah yang menjadi riba fadhl, karena tidak ada jasa atau barang tambahan yang diberikan sebagai imbalan yang sah secara syariat. Ini berbeda dengan jual beli biasa, di mana keuntungan diperbolehkan karena ada perpindahan barang atau jasa yang jelas.

Bahaya Riba bagi Kehidupan

Riba bukan sekadar pelanggaran hukum syariat, tetapi juga membawa dampak buruk bagi individu dan masyarakat. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT mengancam pelaku riba dengan azab yang pedih. Dalam Surah Ali Imran ayat 130, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” Selain itu, Rasulullah SAW menyebut riba sebagai salah satu dosa besar yang mengundang laknat. Beliau bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan seseorang dengan sadar lebih besar dosanya daripada 36 kali berzina” (HR. Ahmad).

Di sisi sosial, riba menciptakan ketidakadilan ekonomi. Penyedia jasa penukaran uang meraup keuntungan besar dengan memanfaatkan kebutuhan orang lain, sementara masyarakat yang membutuhkan uang baru terpaksa menanggung beban tambahan. Jika dibiarkan, praktik ini dapat memperluas kesenjangan ekonomi dan mengikis nilai-nilai keadilan dalam Islam.

Solusi Syar’i untuk Penukaran Uang

Lantas, bagaimana umat Islam dapat memenuhi kebutuhan uang baru tanpa terjerumus dalam riba? Pertama, manfaatkan layanan penukaran resmi dari Bank Indonesia atau bank mitra yang tidak memungut biaya tambahan. Layanan ini biasanya tersedia beberapa minggu sebelum Lebaran, meskipun memang membutuhkan kesabaran untuk antre. Kedua, ubah pola pikir tentang “wajibnya” uang baru. Memberi kepada anak-anak atau kerabat tidak harus menggunakan uang baru; yang terpenting adalah niat kebaikan dan silaturahmi.

Ketiga, jika terpaksa menggunakan jasa informal, pastikan transaksi dilakukan tanpa tambahan biaya yang mengarah pada riba. Misalnya, tukar uang dengan teman atau keluarga secara setara tanpa ada keuntungan sepihak. Terakhir, edukasi masyarakat tentang bahaya riba perlu terus digaungkan agar tradisi Lebaran tidak ternodai oleh praktik haram.

Fenomena penukaran uang menjelang Lebaran dengan margin 10-25% adalah contoh nyata riba fadhl yang dilarang dalam Islam. Meskipun niat awalnya adalah berbagi kebahagiaan, cara yang salah dalam mewujudkannya dapat membawa dosa besar. Angpao mungkin telah menjadi bagian dari budaya lokal, tetapi umat Islam harus bijak memilah mana yang sesuai syariat dan mana yang tidak. Dengan memahami hukum riba dan mencari alternatif yang halal, kita dapat menjaga kemurnian ibadah dan tradisi Lebaran. Mari jadikan momen suci ini sebagai ajang mempererat silaturahmi, bukan malah terjebak dalam jerat riba yang membahayakan dunia dan akhirat.