Pentingnya penanggulangan stunting pada 1.000 hari pertama kehidupan dengan memberikan asupan gizi yang optimal akan memperbaiki dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di masa datang. Hal itu disampaikan oleh Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D. (Rektor Universitas YARSI) di hadapan sekitar 50 orang yang terdiri dari Kepala Desa, Camat, dan Kepala Puskesmas, serta stakeholder pada Rapat Koordinasi (Rakor) ‘Pendampingan Penurunan Stunting di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten (Kamis, 25-26/07/2019) di Hotel Horison Altama Pandeglang.
Universitas YARSI adalah salah satu dari 17 perguruan tinggi pendamping penanggulangan dan pencegahan stunting di Indonesia. Kegiatan ini bertujuan menyelaraskan langkah pemerintah daerah untuk menurunkan angka stunting di Kabupaten Pandeglang, dimotori oleh Fakultas Kedokteran Univ. YARSI dan didukung oleh Direktorat Bina Gizi dan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat (Dirjen Kesmas) Kemenkes RI.
Prof. Fasli Jalal mengatakan, stunting adalah sebuah kondisi, di mana tinggi badan seseorang ternyata lebih pendek dibanding tinggi badan orang lain pada umurnya (yang seusia). Hal itu disebabkan kurangnya asupan gizi yang diterima saat masih dalam kandungan (janin) dan setelah lahir (bayi) terutama di 1.000 hari pertama kehidupan.
“Pada masa-masa itu sangat dibutuhkan asupan gizi yang cukup dan seimbang agar anak terbebas dari masalah stunting yang berakibat terganggunya pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak di masa selanjutnya,” kata Prof. Fasli Jalal.
“Berdasarkan penelitian Riset Kesehatan Dasar 2018, 7 (tujuh) juta anak-anak Indonesia mengalami gagal tumbuh atau stunting. Dimana penyebabnya tidak hanya dipicu oleh masalah kemiskinan, akan tetapi sebagian ada juga dari keluarga mampu terkena stunting disebabkan mereka memiliki gaya hidup yang tidak sehat,” tambah mantan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di masa pemerintahan SBY itu. Selain Wakil Mendikbud, Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D. juga pernah menjabat sebagai Kepala BKKBN.
Presiden Joko Widodo dalam salah satu pidato kenegaraannya pernah menyampaikan bahwa,”Jangan sampai ada lagi yang namanya gizi buruk. Memalukan kalau masih ada. Ini yang harus kita selesaikan. Ada 1 orang pun di sebuah daerah, 2 orang, ada 3 anak pun harus secepatnya diselesaikan. Apalagi lebih dari itu.”
Demikian pula halnya Menteri Keuangan kita Sri Mulyani pernah mengutarakan bahwa “Tidak ada istilah kurang dana untuk stunting,” ujar Prof. Fasli Jalal menirukan.
Bersumber dari penelitian yang dilakukan oleh Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) salah satu riset skala nasional yang berbasis komunitas oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kemenkes RI di tahun 2007 dan 2013. Mereka mengemukakan bahwa stunting terjadi di semua kelompok masyarakat, namun semakin memburuk untuk kelompok lebih miskin. Hasilnya ditemukan stunting di kelompok masyarakat yang lebih kaya (Q4 dan Q5) sudah menunjukkan adanya sedikit perbaikan, namun kelompok masyarakat yang miskin (Q1-Q3) cenderung memburuk.
Sekarang ini, kata Prof. Fasli, permasalahan stunting di Indonesia sudah menjadi persoalan nasional di mana prevalensi stunting di tingkat provinsi masih sangat tinggi; 2 (dua) provinsi di Indonesia memiliki prevalensi stunting di atas 40%; 18 provinsi yang memiliki prevalensi stunting antara 30-40%; 23 provinsi yang memiliki prevalensi stunting antara 20-30%; dan hanya DKI Jakarta yang memiliki prevalensi stunting di bawah 20%.
Dampak stunting sangat mengkhawatirkan akan kualitas sumberdaya manusia Indonesia di masa datang. Menurut Riskesdas 2018, kalau tidak ditanggulangi, maka 7 (tujuh) juta anak Indonesia terancam kehilangan IQ 10-15 poin; 7 (tujuh) juta anak Indonesia akan terlambat masuk sekolah dan memiliki prestasi akademik lebih buruk; 7 (tujuh) juta anak Indonesia akan meraih pendapatan 20% lebih rendah di usia kerja; kehilangan 1% tinggi badan karena stunting berhubungan dengan kehilangan 1,4% produktivitas; direct cost penanganan malnutrisi mencapai $20-30 milyar pertahun; dan Indonesia akan kehilangan potensi GDP 2-3%; serta kemiskinan antar generasi akan semakin buruk.
Prof. Fasli Jalal menyebutkan ada 3 (tiga) kunci sukses dalam program pencegahan dan penanggulangan stunting. Pertama, data penderita stunting di tingkat Posyandu mutlak diperlukan yang memuat nama dan alamat dari keluarga penderita (by name, by address). Kedua, profil dari keluarga yang punya anak stunting atau keluarga yang beresiko untuk melahirkan anak stunting perlu dibuat. Profil ini berisi informasi yang diperlukan oleh berbagai program dari berbagai kementerian dan Lembaga untuk secara konvergen menjadikan keluarga tersebut sebagai prioritas sasaran. Dan yang ketiga diperlukan kepemimpinan dari kepala desa dan perangkat desa untuk mengkoordinasikan masuknya program-program gizi spesifik dan dan gizi sensitif agar secara konvergen jatuh di keluarga prioritas.
“Maka dari itu, cegah stunting sedini mungkin adalah upaya terbaik dengan mencukupi makanan anak dengan gizi seimbang, cegah infeksi, dan pengasuhan yang optimal. Jangan sampai terjadi kesalahan pengasuhan dengan membiarkan anak malas makan atau makan sembarangan. Pastikan makanan sampai ke mulut dan perut anak, serta jangan sampai makanan tercuri di perut anak oleh cacing,” jelas Prof. Fasli panjang lebar.
Prof. Fasli berkeyakinan dengan memperhatikan kebutuhan anak 1.000 hari pertama kehidupan mereka dengan memberikan ASI satu jam pertama kelahiran, ASI ekslusif sampai usia 6 (enam bulan), kemudian memberikan makanan tambahan dan tetap menyusui sampai usia 2 (dua tahun) dengan menuntaskan imunisasi bayi dan balita. Serta terus memberikan makanan yang bergizi sebagai pendamping ASI, inshaa Allah masalah stunting akan teratasi. Kekhawatiran terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia di kemudian hari bisa dicegah. (ART)
“Universitas YARSI, Islami dan Berkualitas”