Bulan suci Ramadhan segera datang, seperti biasa harga sejumlah komoditi pokokpun mulai merangkak naik. Di sisi lain, Pemerintah melalui beberapa Menteri mengatakan: stock pangan aman. Tetapi kenyataan berkata lain: harga tetap melambung, seolah-olah tak terkendali.
Mungkin sebagian besar anggota masyarakat mengangap hal ini dianggap biasa. Toh tiap tahun memang begitu adanya. Begitu pula pandangan Pemerintah lewat pejabat-pejabatnya. Semua dianggap wajar dan lumrah. Tetapi benarkah demikian?
Secara teori – bagi yang pernah belajar ilmu ekonomi yang paling mendasar pun mesti tahu bahwa – kenaikan harga sebuah produk, terutama akibat teori atau “hukum supply dan demand” (penawaran dan permintaan). Singkatnya, harga suatu komoditas akan tergantung pada titik temu (ekuilibrium) garis (kurva) supply dan demand. Harga akan naik – misalnya – supply tetap dan demand naik. Atau harga akan turun bila mana supply naik dan demand turun. Keseimbangan (ekuilibrium) akan terjaga, mana kala posisi supply dan demand bertahan pada posisi yang sama, atau tidak terjadi pergeseran.
Nah, bagaimana dalam Ramadhan?
Biasanya ada akan ada klaim, bahwa akibat Ramadhan, demand akan naik, sementara supply tetap. Sehingga, ‘dianggap wajar’ bila harga naik!.
Mari kita analisis: Di luar Ramadhan, kebiasaan rata-rata masyarakat makan 3 kali sehari. Sedang selama Ramadhan, karena berpuasa, maka tradisi ini akan berubah. Mereka yang biasa makan 3 kali sehari, menjadi hanya 2 kali sehari. Artinya, justru frekuensi masyarakat berkonsumsi akan turun lebih kurang 30%. Artinya tidak terjadi kenaikan, sebaliknya malah turun.
Bisa dibayangkan bahwa dengan jumlah ummat Islam sebesar 85% dari 275 juta penduduk, berapa besar agregat turunnya supply secara nasional. Kembali kepada teori, jika demand turun, dan supply tetap, maka mestinya yang terjadi adalah penurunan harga. Namun kenyataannya – seperti diungkap di atas – harga-harga naik. Paradoks bukan???
Di atas adalah perspektif makro, atau kacamata besar secara nasional. Bagaimana dalam perspektif mikro?
Suatu hari di bulan Ramadhan, penulis pernah bertanya dengan sedikit menggoda seorang pedagang ayam yang menjadi langganan keluarga kalau membeli ayam. “Wah, mas selama Ramadhan, panen dong ya? Permintaan bertambah dan harga juga naik”, ujar penulis kepada penjual ayam tersebut. Apa dan bagaimana reaksinya?
Malah kebalikan sama sekali. “Selama Ramadhan, justru penjualan kami turun, Pak!” katanya merespon pertanyaan atau godaan penulis. Lha, kok bisa?
“Begini, Pak”, ujarnya melanjutkan. “Banyak kios (pedagang, maksudnya) yang di luar Ramadhan membeli dalam jumlah tertentu, sekarang malah mengurangi belanjanya, karena sebagian mereka libur, dan pembeli juga berkurang”. Di luar itu, “pelanggan kami dari segmen rumah tangga, biasanya juga berkurang atau mengurangi pembelian, karena harga yang lebih mahal”. Artinya aneh dan paradoks lagi, bukan?
Pandangan dua perspektif yang berbeda: makro dan mikro, justru bertolak belakang dari kenyataan yang ada. Bahwa ada kenaikan harga, namun semua di luar nalar atau teori yang selama ini difahami. Apa artinya ini?
Bukankah ini dapat disebut sebagai kanaikan harga yang bersifat ilusif dan / atau psikologis belaka. Tidak ada teori yang dapat menjelaskan dan diterima nalar sehat, mengapa kenaikan harga terjadi.
Lalu siapa yang bermain dan bertanggung jawab atas gejala aneh ini?
Sangat patut diduga adalah para pedagang nakal, yang melakukan apa yang disebut hoarding atau ihtikar / iktinaz. Hoarding (ihtikar / iktinaz) asalah praktik menumpuk komoditas untuk tujuan mempermaikan harga. Ini – sekali patut diduga – dilakukan oleh pedagang yang punya modal besar. Dengan modal besar, mereka bisa melakukan hoarding, untuk kemudian setelah harga barang naik, baru komoditas tersebut dilempar ke pasar, sehingga mereka akan meraup keuntungan yang juga lebih besar.
Untuk mengatasi penyakit klise dan kronis ini, tidak ad acara lain kecuali Pemerintah yang harus turun tangan, mulai mendeteksi (gejala), melakukan analisis hingga melakukan tindakan nyata, seperti menangkap para pelaku hoarding / ihtikar / iktinaz, dan menghukum mereka dengan berat karena telah mengganggu ketenangan masyarakat. Mestinya, Pemerintah tidak boleh sama sekali menguatkan dengan mengatakan bahwan ini biasa setiap Ramadhan datang. Sikap dan pandangan Pemerintah semacam ini, sungguh menggambarkan kebodohan belaka, atau tidak bisa menganalis secara kritis. Karena semuanya dapat dibaca dengan mudah. Tinggal sekarang, apakah ada kemauan atau tidak?!.