Kisruh Muhammadiyah Vs BSI, Bagaimana Pandangan Masyarakat?

Secara tiba-tiba saja  industri perbankan Syariah dihebohkan oleh kejutan Muhammadiyah, organisasi massa (Ormas) Islam terbesar di negeri ini yang memutuskan untuk menarik dana mereka dari Bank Syariah Indonesia (BSI). Dikabarkan bahwa jumlah dana Muhammadiyah yang ada di BSI mencapai angka Rp.15 Triliun. Sebuah angka yang cukup besar, tentunya. Ini berasal seluruh Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang terdiri dari 172 Perguruan Tinggi, 1143 SLTA sederajat, 1772 SLTP sederajat, 2604 SD sederajat, 7623 TK ABA, 6723 PAUD, 71 SLB, 82 Pesantren, 122 Rumah Sakit (ditambah 20 yang sedang dibangun) 231 Klinik,  dam sejumlah AUM di bidang ekonomi seperti BMT, BPRS, Biro Umrah, dan lain-lain.

Berdasarkan berbagai informasi yang beredar, ada sejumlah alasan yang membuat Muhammadiyah ‘kecewa’ dengan BSI, dan berujung dengan sikap tegas untuk menarik seluruh dana. Konon ini berkaitan dengan pemilihan dan / atau penunjukan salah seorang Komisaris. Selain itu – kabarnya – kekecewaan itu juga disebabkan oleh kurang baiknya cara pelayanan BSI terhadap Muhammadiyah, dan kebijakan BSI yang kurang memperhatikan UMKM dalam pelayanan pembiayaan. Ada indikasi bahwa BSI masih lebih mengutamakan nasabah-nasabah kakap dibandingkan nasabah-nasabah gurem dalam bentuk UMKM. Sesuatu yang tidak sejalan dengan kebijakan Muhammadiyah yang selalu mendorong dan meningkatkan UMKM, tanpa harus melupakan yang ‘kakap’.

Terlepas dari apapun penyebab utama atas retaknya hubungan dua lembaga besar ini, kami tertarik dan mencoba melakukan survey atas fenomena yang tentu menarik untuk dikaji dari beberapa aspek ini. Hasilnya adalah sebagai berikut.

Metode Survey dan Profil Responden

Survey dilakukan dengan cara menyebarkan kuessioner ke sejumlah responden. Penyebaran kuessioner dilakukan dengan metode purposive sampling. Sejauh ini berhasil dijaring 129 responden yang menjawab kuessioner yang disebarkan. Secara gender responden terdiri dari 72,9% pria dan 27,1% wanita.

Dari segi umur, mayoritas responden (60,5%) berusia di atas 50 tahun, diikuti sebesar 20,2% berumur 41-50 tahun; 10,1% berusia antara 21-30 tahun, dan 9,3% berusia antara 31-40 tahun. Ini dapat diartikan bahwa para responden adalah mereka yang sudah sangat dewasa.

Dalam hal pendidikan: 37,2% berpendidikan S2 atau sederajat, 34,9% berpendidikan S1, dan 20,9% berpendidikan S3. Sisanya berpendidikan SMA ke bawah. Ini juga dapat dimaknai bahwa responden adalah kaum yang sangat terdidik. Artinya pandangan mereka bukanlah pandangan yang bersifat sekilas, tetapi pandangan yang lahir dari pengamatan yang serius dan berbasis informasi yang relatif cukup.

Mengenai profesi responden dapat digambarkan sebagai berikut: 26,4% adalah dosen atau pendidik, 23,3% adalah karyawan swasta, 21,7% adalah professional (lawyer, akuntan, dokter, banker dan semacamnya), 14,73% adalah pensiunan, 12,4% adalah PNS / ASN dan 1,5% adalah karyawan BUMN. Ini juga menggambarkan bahwa secara rata-rata  mereka berprofesi cukup terhormat.

Dalam hal kepemilikan akun di BSI: 56,6% memiliki akun di BSI dan 43,4% tidak memiliki akun / rekening di BSI. Terakhir, adalah keanggotaan responden di Muhammadiyah: 41,9% adalah warga atau anggota Muhammadiyah, 38% adalah simpatisan Muhammadiyah dan sisanya atau 20,2% bukan anggota atau simpatisan Muhammadiyah.

Pandangan Mereka

Ada lima pertanyaan yang dilemparkan kepada responden. Berikut lima pertanyaan tersebut dan respon atau pandangan responden:

Ini mengindikasikan bahwa issue ini memang disimak secara cukup merata oleh responden. Karena mayoritas 68,2% responden menyimak dengan seksama, 29,5% mendengar walau sekilas, dan hanya 2,5% responden yang tidak tahu sama sekali.

Pandangan ini juga menarik, karena 79,1% responden memandang bahwa sikap Muhammadiyah sudah tepat, dan hanya 7% yang memandang ini tidak tepat. Ada kesan kuat bahwa mayoritas responden lebih bersimpati kepada Muhammadiyah, dibandingkan kepada BSI.

Dalam hal ini, mayoritas responden (53,5%) berpendapat bahwa [sepatutnya] BSI menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, sejauh pantauan ABI, hal ini belum tampak dilakukan. Bahkan 45% responden menyarankan agar BSI minta maaf dan merubah kebijakan yang menyinggung Muhamnmadiyah. Namun, jangankan meminta maaf, menjelaskanpun – sejauh ini – belum terdengar dilakukan.

Walau jumlah penarikan dana sebetulnya masih jauh di bawah asset yang dimiliki BSI, responden juga yakin bahwa tindakan penarikan ini akan sangat berpengaruh terhadap BSI. Sementara 37,2% berpandangan lebih moderat, bahwa pengaruhnya – walau ada – tetapi tidak signifikan.

Terakhir, adalah kemungkinan penarikan dana Muhammadiyah oleh nasabah lain, terutama warga Muhammadiyah. Ternyata 48,8% responden yakin bahwa mungkin sebagian warga Muhammadiyah akan mengikuti persyarikatan Muhammadiyah. 40,3% juga [malah] yakin tindakan ini akan dilakukan. Hanya 10,9% responden yang tidak yakin bahwa langkah PP Muhammadiyah tidak akan diikuti, terutama oleh warganya.

Kesimpulan

Apa yang dapat disimpulkan dari fenomena hubungan Muhammadiyah dan BSI, antara lain adalah bahwa hubungan yang retak ini cukup mendapat perhatian masyarakat. Dilihat dari latar belakang responden, mereka adalah orang-orang yang sudah berumur, berpendidikan cukup tinggi dan berasal dari profesi terhormat. Oleh karena itu, mestinya peristiwa ini dapat menjadi pelajaran penting terutama dalam industri perbankan Syariah yang secara eksplisit membawa nama besar agama di dalamnya. Kejadian ini di sisi lain adalah sebuah ironi pula, apalagi dalam bisnis dikenal konsep KYC: Know Your Customers. Ini yang mungkin dilupakan atau tidak diterapkan oleh BSI.

WaLlahu a’lam bisshowab.

Muhammad Akhyar Adnan
Prodi Akuntansi, FEB Univeristas Yarsi