18 Mei 2024 beberapa hari yang lalu merupakan hari yang amat penting dalam upaya dunia membuat amandemen aturan kesehatan internasional (“Internasional Health Regulation – IHR”). Pernyataan resmi WHO bahkan menyebutkan telah terjadi “Ground-breaking progress” dan juga disebut sebagai “historic milestone for global public health”. Tanggal 18 Mei 2024 itu merupakan hari terakhir pertemuan ke delapan “Working Group on Amendments to the International Health Regulations (2005) (WGIHR)”, yang telah berhasil menyepakati sebagian besar prinsip penting (“agreed in principle on a large”) amandemen IHR.
Mulai Senin minggu ini dilakukan beberapa pertemuan lanjutan, sebelum akhirnya versi terakhir akan diajukan ke Sidang Kesehatan Dunia “World Health Assembly (WHA) ke 77” 27 Mei–1 Juni 2024 yang akan dihadiri Menteri Kesehatan dan delegasi seluruh anggota WHO, tentunya termasuk Indonesia. Sekarang ini WHO punya 196 anggota, yaitu 194 negara (“WHO Member States”) ditambah Liechtenstein dan Holy See. Pertemuan WHA inilah yang nanti akan membahas akhir amandemen IHR ini, masih akan ada negosiasi dan pembahasan, dan kita akan akan lihat apakah sesudah WHA selesai pada 1 Juni maka dunia memang sudah akan memiliki amnademen IHR yang baru. Ini amat bergantung pada negosiasi di hari-hari ini dan tentunya -dan utamanya- pada saat pertemuan Komisi-Komisi dan Pleno Sidang Kesehatan Dunia “World Health Assembly (WHA) ke 77 akhir bulan ini. Dunia menanti, dan kita berharap agar WHA yang terbaik untuk kesehatan semua kita.
Amandemen IHR yang sedang dalam pembahasan akhir di hari-hari ini sampai akhir bulan Mei ini disusun berdasar lebih dari 300 proposal yang diajukan berbagai negara. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan negara-negara anggota WHO (termasuk Indonesia tentunya) untuk mempersiapkan diri, melakukan deteksi dan respon (“prepare for, detect and respond”) terhadap berbagai kedaruratan kesehatan masyarakat yang mungkin punya dampak penularanm internasional (“Public Health Emergencies of International Concern (PHEICs)”. Kita sudah ketahui bahwa kalau PHEIC tidak terkendali maka akan dapat terjadi pandemi, seperti yang sudah pernah kita semua alami dengan dampak yang dahsyat.
IHR ini sebenarnya pertama kali di adopsi oleh WHA pada 1969 yang terakhir di revisi pada 2005, dan versi inilah yang kini masih dipakai. Prinsip dasarnya adalah memaksimalkan upaya dunia bersama untuk memaksimalkan penanganan kejadian kesehatan masyarakat dengan meminimalkan kemungkinan terjadinya disrupsi perjalanan dan perdagangan.
Dengan adalnya amandemen IHR maka diharapkan akan ada upaya perbaikan mekanisme internasional untuk melindungi umat manusia kini dan di masa datang terhadap berbagai kemungkinan wabah dan bahkan pandemi. Prinsip yang selalu dipegang adalah semangat komitmen kesetaraan dan solidaritas (“equity and solidarity”) yang tentunya dengan keterjaminan kedaulatan tiap negara (“national sovereignty”).
Proses negosiasi amandemen IHR ini berjalan bersama dengan negosiasi alot dan panjang yang mengatur pandemi, baik dalam bentuk persetujuan, konvensi ataupun traktat pandemi, yang semuanya dikenal dengan “pandemic accord”. Nah, patut diketahui bahwa IHR lebih fokus pada membangun kemampuan negara anggota WHO untuk mendeteksi dan menangani kejadian kesehatan masyarakat yang punya dimensi penularan antar bangsa. Di pihak lain, draf “pandemic accord” berfokus pada respon ingternasional yang terkoordinasi dalam menghadapi pandemi, termasuk akses yang setara (“equitable access”) untuk ketersediaan vaksin, obat dan alat diagnostik yang diperlukan.
Kita semua amat mengharapkan agar ada aturan kesehatan internasional yang lebih baik, agar kita semua, negara dan dunia dapat mengendalikan wabah dan pandemi di masa mendatang. Sudah pasti akan ada berbagai wabah di waktu-waktu mendatang, dan bahkan juga akan terjadi pandemi. Kita hanya belum tahu kapan akan terjadi, dan penyakit apa yang jadi wabah dan pandemi mendatang, dan untuk itu kita harus siap, lebih siap dari keadaan sekarang ini.
Prof Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara