Ide bunuh diri, ancaman dan percobaan bunuh diri merupakan hal serius harus segera ditangani. Sehingga dibutuhkan langkah preventif untuk menurunkan angka kejadiannya.
Selain itu kasus bunuh diri pada remaja, salah satu hal penting yang dapat dilakukan yaitu deteksi dini, yang bertujuan untuk menemukan faktor risiko penyebab bunuh diri pada remaja.
Direktur Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa (PKJN) dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor (RSJMM), DR dr Nova Riyanti Yusuf SpKJ menyataan hal ini saat Diskusi Deteksi Dini Pencegahan Bunuh Diri di IPB University ,kemarin.
Lebih lanjut Doktor Nova mengatakan, Data WHO Global Estimates 2017 menunjukkan kematian global akibat bunuh diri tertinggi berada pada usia 20 tahun, terutama pada negara berpenghasilan rendah dan menengah. Pada tahun 2016, WHO mencatat kematian remaja laki-laki usia 15–19 tahun disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kekerasan interpersonal, dan menyakiti diri sendiri.
Penelitian ini terinspirasi oleh kompleksitas siklus hidup fase remaja yang diharapkan sebagai generasi penerus bangsa. Pada fase remaja terjadi perkembangan yang ditandai perubahan fisik, psikologis, kognitif, dan sosial.
American Academy of Child and Adolescent Psychiatry membagi fase remaja menjadi tiga, yaitu 1) Early Adolescence (11 – 13 tahun), 2) Middle Adolescence (14 – 18 tahun), dan 3) Late Adolescence (19 – 24 tahun).
Alumnus Harvard Medical School 2015 menjelaskan, fase middle adolescence adalah fase sangat rentan karena remaja berpikir secara abstrak tetapi juga mempunyai keyakinan tentang keabadian (immortality) dan kedigdayaan (omnipotence) sehingga mendorong timbulnya perilaku risk-taking.
Pada fase risk taking ini, remaja lebih memiliki pola pikir abstrak sehingga dapat tertantang mencoba segala hal, termasuk ke arah pola hidup tidak baik, seperti penggunaan tembakau dan alkohol, bereksperimen dengan narkotika, psikotropika dan zat adiktif.
Kemudian aktivitas seksual tidak aman, pola makan yang buruk, dan kenakalan remaja. Perilaku risk-taking akan berdampak terhadap morbiditas, fungsi, dan kualitas hidupnya pada saat dewasa. Tentunya jika remaja tersebut tidak berakhir pada mortalitas (kematian prematur) akibat perilaku risk-taking tersebut.
Menurut Doktor Nova, beban morbiditas dan mortalitas akibat non-communicable disease telah meningkat di seluruh dunia dan sangat cepat perkembangannya di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Sementara beban akibat penyakit menular mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan urgensi untuk dilakukan langkah preventif deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri di remaja.
Upaya awal yang telah dilakukan di Indonesia adalah pengembangan instrumen untuk mengukur risiko bunuh diri pada orang dewasa. Di era digital seperti sekarang instrumen ini dalam bentuk barcode berisi kuesioner yang dapat mengindikasikan seseorang berisiko mengalami gangguan kesehatan mental.
Merespons masalah mental health dan fenomena bunuh diri pada mahasiswa, IPB University memberi perhatian penuh kepada kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Fakultas Ekologi Manusia IPB University memiliki Tim Satgas Mental Health dan ruang konseling di kampus FEMA, dengan Dr Megawati Simanjuntak SP MSi sebagai penanggungjawab.
Sementara kalau di Universitas Yarsi dengan menyediakan kebutuhan untuk konseling dan pendampingan mental health. Pelaksanaannya dilakukan oleh Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera (PPKS) /Satyagtra Universitas Yarsi . Layanan di PPKS Yarsi juga sudah memiliki layanan hypnotherapy yang dilakukan dokter dan psikiater.
Menurut Kepala PPKS ,dr.Maya Trisiswati,M.KM,konseling dilakukan oleh dosen dosen dari Fakultas Psikologi, Kedokteran , Hukum dan dosen agama. Adanya Peer Konselor dari mahasiswa juga merupakan salah satu layanan bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan mental health mahasiswa. Karena dengan sebaya diharapkan mahasiswa bisa lebih terbuka untuk curhat, dan apabila di perlukan akan ditindaklanjuti dengan konseling dari konselor profesional.
Di Universitas Yarsi memiki tiga ruang konseling dan satu ruang diskusi bisa membuat orang yang ingin melakukan konseling merasa nyaman.memang hingga kini Universitas Yarsi belum memiliki satgas mental Health
Dr Maya mengatakan, bunuh diri yang meningkat, tentu ini menjadi keprihatinan kita semua. Diperlukan berbagai langkah konkrit promotif dan preventif dalam menurunkan bahkan meng “nol” kan angka kejadian ini.
Kita harus mencari akar masalahnya terutama pada remaja. Kita harus berkolaborasi bersama mencegahnya, mulai dari lingkup terkecil keluarga hingga pemerintah dan negara.
Universitas Yarsi hingga kini memang belum memiliki satgas mental Health, namun terbuka untuk bekerjasama dengan pihak manapun termasuk dengan Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Jiwa (PKJN) dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. “Kami yakin untuk mengatasi masalah ini Universitas Yarsi tidak mampu berdiri sendiri dan siap bekerjasama(MOU),,” tutup dokter Maya (usman)