5 hal “bakteri pemakan daging” dan 7 antisipasi berbagai negara

Sudah banyak dibicarakan tentang “Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS)” atau yang secara awam disebut sebagai “bakteri pemakan daging” (“flesh-eating bacteria”) yang sedang ada peningkatan kasusnya di Jepang dan jadi berita penting di dunia pula. Ada lima hal tentang penyakit ini.

  1. Menyebar dengan cepat dan menimbulkan kematian hanya dalam waktu 48 jam saja.
  2. Angka kematian dapat mencapai 30%, artinya sepertinya meninggal karena penyakit ini. jauh lebih tinggi dari kematian COVID-19 yang dibawah 5%.
  3. Belum ada vaksin untuk penyakit ini.
  4. Gejala bermula dari keluhan demam, nyeri otot, muntah dan dapat memburuk secara cepat karena bakteri penyebabnya melepaskan racun (toksin) yang menyebabkan respon peradangan (inflamasi) luas, syok dan kerusakan berbagai organ dalam tubuh manusia (“multi-organ failure”).
  5. Ada dua penjelasan kenapa kasusnya naik tinggi sekali sekarang ini di Jepang.
    1. selama pandemi COVID-19 maka banyak masyarakat yang relatif tidak banyak kotak dengan bakteri (karena “jaga jarak” dll, dan menyebabkan tidak adanya ketahanan alamiah
    2. dugaan pelemahan sistem imun pasca COVID19, atau yang dikenal sebagai “weakened immune systems post-COVID-19”.

Berikut ini disampaikan juga tujuh hal yang dilakukan beberapa negara untuk antisipasi situasi STTS di bakteri pemakan daging ini.

  1. Pemerintah Hongkong melalui Badan Perlindungan Kesehatan (“Centre for Health Protection – CHP”) Kementerian Kesehatannya memberi seruan pada warga Hongkong yang akan bepergian untuk waspada terhadap peningkatan infeksi STTS ini.
  2. Pemerintah Malaysia juga bergerak cepat, dan menyebutkan berkoordinasi dengan World Health Organization (WHO) untuk mendapat informasi yang lebih jelas. Malaysia memonitor secara ketat kemungkinan kasus ini di negara mereka melalui “Crisis Preparedness and Response Center – CPRC” divisi infeksi pemerintah mereka.
  3. Pemerintah Thailand mengeluarkan “Travel Advisory for Thais” bagi warganya yang akan ke Jepang dll, yang meliputi:
    1. Persiapan sebelum berangkat,
    2. Apa yang harus dilakukan selama bepergian,
    3. Kewaspadaan ada mereka yang risiko tinggi, dan
    4. Apa yang harus dilakukan sesudah kembali ke Thailand. Mungkin baik juga kalau pemerintah kita mempertimbankan untuk melakukan hal serupa ya.
  4. Pakar Australia dari Melbourne menyebutkan bahwa bukan tidak mungkin perburukan betrlangsung cepat. Seseorang bisa awalnya kelihatan sehat-sehat saja, lalu langsung memburuk.
  5. Pemerintah Jepang sendiri melakukan monitoring aktif situasi penyakit ini, dan meningkatkan penyuluhan kesehatan ke masyarakat Jepang.
  6. Pemerintah Amerika Serikat melalui Center of Diseases Control and Prevention (CDC) menyampaikan bahwa yang termasuk kelompok risiko tinggi terkena STTS termasuk kaum lansia, mereka yang punya luka terbuka dan juga pasien-pasien yang baru menjalani pembedahan.
  7. WHO pada Desember 2022 pernah pula melaporkan peningkatan kasus “invasive Group A Streptococcus (iGAS)” di Perancis, Irlandia, Belanda, Swedia dan Inggris, utamanya pada anak-anak, hanya memang tidak seperti peningkatan di Jepang sekarang ini.

Perkembangan yang ada di Jepang tentu perlu kita amati mendalam, kita juga perlu melakukan antisipasi dengan baik dan tidak mengabaikannya begitu saja, tapi di sisi lali kita tidak perlu harus kawatir berlebihan pula. Harus disadari bahwa berbagai penyakit masih akan tetap bermunculan, dan kewaspadaan senantiasa dari aparat kesehatan merupakan salah satu kunci pengendaliannya, di dunia dan juga di negara kita.

Prof Tjandra Yoga Aditama
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara
Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Kepala Balitbangkes
Penerima Rekor MURI April 2024 tulisan COVID-19 terbanyak di media massa